Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Si Kancil yang Sempat Terlupakan

By Dery Adhitya Putra - Selasa, 8 Mei 2012 | 21:20 WIB
(Frengky Aruan/Bolanews)

Abdul Kadir atau di eranya dikenal dengan sebutan si Kancil, telah tiada sejak 4 April 2003 silam. Namun, seperti peribahasa lawas "Gajah Mati Meninggalkan Gading", nama Kadir layak dikenang lantaran prestasi yang dicatatkan untuk bangsa dan negara.

Lahir di Denpasar, Bali, 27 Desember tahun 1948, Abdul Kadir tumbuh di dalam dunia si Kulit Bundar. Kecintaan terhadap dunia sepak bola itulah yang pada akhirnya mengantarkan si Kancil menjadi pemain sepak bola ternama.

Dimulai dari Assyabaab, salah satu klub amatir di Surabaya, si Kancil kemudian melanjutkan karier sepak bolanya di Persebaya. Tak lama, lelaki berambut ikal itu melanjutkan karier sepak bola di klub Pardedetex, klub Galatama bentukan pengusaha asal Sumatera Utara, Dr Tumpal Dorianus Pardede.

Dalam rentang waktu perpindahan dari klub ke klub, si Kancil yang kala itu berusia 16 tahun dipanggil untuk memperkuat timnas di kancah internasional. Dimulai Ganefo (sekarang Asian Games) di Pyong Yang pada 1964, kelincahan serta kecepatan yang menjadi andalan utama pun mengantarkannya membela timnas hingga tahun 1979.

Sejak memperkuat timnas, prestasi luar biasa diukirkan. Setelah membantu Indonesia meraih juara Piala Raja 1968, Kadir bersama para punggawa timnas juga mengantarkan Merah-Putih memenangi Merdeka Games tahun 1969 serta Pesta Sukan Singapura, tiga tahun berselang.

Selain bersama tim, si Kancil juga mencatatkan prestasi secara individual. Dalam rentang waktu 1966 hingga 1970 misalnya, bersama dua rekannya di timnas dan klub Pardedetex, Soetjipto Soentoro, Iswadi Idris, serta mantan kompatriotnya di klub amatir Assyabaab, Jacob Sihasale, juga Max Timisela, Si Kancil terpilih sebagai pemain Asia All Stars.

Tak hanya itu, sejarah juga mencatat bahwa pria yang berposisi sebagai penyerang kiri luar itu pernah didaulat mendampingi Pele disebuah program tv nasional, TVRI. Kehadiran Pele di program tv itu untuk melakukan akrobat. Maha bintang asal Brasil itu diundang usai dirinya memenangi pertandingan persahabatan melawan Indonesia dengan membawa panji Santos, Juni 1972.

Sayang torehan prestasi baik bersama timnas juga secara pribadi tak bisa dilanjutkan. Kadir akhirnya dimakan usia. Hal itu pula yang belakangan membuat kelincahannya seiring waktu turut memudar. Alhasil, ia memilih untuk gantung sepatu.

Meski demikian, kecintaannya pada Si Kulit Bundar tak ikut sirna. Dengan rasa cinta yang masih ada, si Kancil akhirnya memilih untuk menjadi seorang pelatih. Ia belakangan dikenal sebagai pelatih Krama Yudha Tiga Berlian, klub Galatama yang berbasis di Palembang.

Di Krama Yudha Tiga Berlian, sinarnya tak meredup. Lepas dari pemain, ia mampu membawa klub asal Palembang itu merasakan prestasi luar biasa. Bersamanya, Krama Yudha Tiga Berlian menoreh peringkat ketiga Piala Champion Asia 1986.

Prestasi Berubah Duka

Usia yang semakin tua jelas tak bisa dielakkan. Seiring waktu berjalan, si Kancil akhirnya jatuh sakit. Beberapa jenis penyakit, seperti ginjal, jantung, darah tinggi mulai menggerogoti tubuhnya yang dulu sangat tegap.

"Mas Kadir mulai sakit di Jember. Karena sakit, walikota Jember membiayai penerbangannya ke Surabaya untuk kemudian terbang ke Jakarta. Di Jakarta, ia cuci darah di RSCM. Setelah melakukan cuci darah, kami bawa mas Kadir untuk operasi di Guangzhou. Usai operasi ia kelihatan sehat," kisah Lisa Abdul Kadir, istri si Kancil.

Namun, kecintaannya pada sepak bola membuat si Kancil tak mau diam. Ia terus bergerak karena kesukaannya pada sepak bola. "Tahun 2002, timnas tanding dan menang. Saat itu mas Kadir maksa nonton. Padahal saya sudah bilang 'jangan terlalu capai', tapi ia tidak mau," sambung Lisa.

Karena kecintaan itu, kondisi si Kancil menurun. Hal itulah yang membuat pihak keluarga, dibantu Ronny Pattinasarani, Iswadi Idris, Agum Gumelar kembali membawa si Kancil ke RSCM.

"Tapi ruang ICU di RSCM penuh, akhirnya Iswadi, Ronny, dan Agum membawa mas Kadir ke RS Muhammad Husni Thamrin. Akan tetapi ia tak tertolong dan pada 4 April 2003, ia meninggal. Kemudian ia dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta Pusat," jelas Lisa.

Tak Berhenti

Sepeninggal Abdul Kadir, pihak keluarga terus dihampiri berbagai persoalan. Kehidupan yang dulunya sejahtera berubah seketika.

Dua tahun usai si Kancil tutup usia misalnya, sang anak sulung, Areo Jasa Pradira ikut sang ayah ketika usianya baru 22 tahun. Ironis, karena sang anak yang terkena tipus harus meregang nyawa lantaran keluarga tak punya biaya berobat.

"Karena pengobatan mas Kadir, kami jadi morat-marit. Akhirnya anak saya menyusul mas Kadir," ujar Lisa yang terlihat begitu sedih.

Tak sampai situ, kondisi serba kekurangan membuat duka terus berlanjut. Rumah yang dulu kokoh melindungi keluarga Abdul Kadir, kini terlihat mulai hancur dimakan usia. Tembok tampak mulai hancur, sementara genteng mulai berjatuhan lantaran tiang penompang lapuk.

Kehancuran yang terjadi sejak dua tahun silam itu bahkan sempat memakan korban. Lisa menuturkan kalau dirinya sempat tertimpa jatuhan genteng.

Namun, Lisa mengaku tak ingin meninggalkan rumah yang katanya penuh cerita. "Saya berharap pemerintah atau PSSI ikut memperhatikan dan mendengarkan nasib janda-janda pesepak bola yang sudah membela nama baik bangsa dan negara."

Beruntung bagi Lisa dan keluarga, kondisi yang menghampiri mendapat perhatian dari para tetangga.  Mewakili Kelompok Pemuda Bumi Satria Kencana (KPBSK), Tito Oktavialdi berharap masyarakat mau membantu keluarga si Kancil untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Bantuan masyarakat bisa dikirim langsung ke kediaman si Kancil di alamat Perum Bumi Satria Kencana, Jalan Pandu Dewanata, Blok 1 no.11 atau melalui rekening  Bank Mandiri di nomor 167-00-0039251-3 a/n Tito Oktavialdi dan rekening BCA di nomor 568-086-5843 a/n Hari Nova Arifin.