Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Begitu kontras. Jika minggu lalu kita dengan penuh gembira menyambut kehadiran kembali kesebelasan pelajar dari New Delhi dengan piala juara Asia di tangannya, awal minggu ini warna sebaliknya menguasai PSSI Garuda.
Tim yang semula diharapkan jadi tumpuan harapan untuk setidaknya berjaya di SEA Games 85 itu pula dari Singapura dengan warna serba hitam. Mereka menjadi juru kunci di penyisihan dalam turnamen delapan negara perebutan Piala Merlion.
Bukan hanya itu, tim asuhan pelatih asal Brasil, Barbatana, yang digaji Rp 7 juta per bulan itu, benar-benar pulang dengan tangan hampa. Sebab tak sekalipun mereka bisa menahan seri, apalagi mencetak kemenangan dalam tiga pertandingan penyisihannya. Bahkan dalam pertandingan terakhir digasak tim cadangan tuan rumah 5-1, kekalahan terbeaar bagi tim Indonesia dari negeri pulau itu.
Kalau ditarik balik ke belakang lagi, suasana kehadiran kembali tim Garuda kita itu di bandara udara Halim Perdanakusuma, kontras pula dengan acara serupa di tempat yang sama sembilan bulan yang lalu.
Awal Januari itu Hermansyah, Marzuki, dan kawan-kawannya tiba dengan gaya pemenang perang. Meski mereka baru mampu menjadi runner-up tumamen Piala Raja di Bangkok - kalah 3-0 dari tuan rumah Muangthai di final - tapi kegembiraan dan kebanggaan tinggi menyambut hasil itu yang digolongkan sementara orang sebagai suatu sukses.
Kini sebaliknya warna hitam dan murung belaka yang mewarnai wajah para pemain maupun ofisial Garuda. Malah para pemain itu seperti melancarkan GTM. Tak ada yang mau membuka mulut. "Nggak ada komentar deh, Mas," kata kiper utama Hermansyah kepada M. Nigara dari BOLA. Begitu pula reaksi Marzuki, Azhari Rangkuti, Aji Ridwan Mas. Pelatih Barbatana juga tak mau banyak komentar. "Tidak bagus" dan "banyak problem", itulah saja jawabnya.
Hanya manajer tim Aang Witarsa saja yang mau bicara agak banyak. Tapi itu pun katanya sekadar pandangan pribadi, bukan sebagai manajer.
Apa kata Aang? Garuda, katanya, memang masih memiliki banyak kekurangan. Karena itu, jika diinginkan sukses dalam SEA Games tahun depan, ia menyarankan penggantian antara lima sampai enam pemain tim.
Penggantian pemain itu dikatakannya terutama untuk sektor tengah dan depan. Apalagi untuk pemain sebagai pengatur serangan. "Saya tidak melihat ada pemain yang mampu untuk itu. Inilah problem Garuda yang terberat," tambahnya.
Tapi melihat hasil di Singapura itu, sekilas saja orang tahu, barisan pertahanannya pun amat rapuh: memasukkan 2, kemasukan 10. Maka tak heran Sutjipto Suntoro, bekas kapten PSSI yang pintar bicara, cepat menuntut mundurnya Barbatana. "Sebagai bekas pemain, saya sangat malu dengan kekalahan begitu. Karena itu sebaiknya Barbatana meletakkan jabatan dan pulang ke Brasil," tukasnya lantang.
Penilaian terhadap kemampuan Barbatana mungkin memang mendesak, tapi tentu tak berarti persoalan akan jadi selesai. Eksistensi dan target Garuda sendiri, di samping mutu pemain, merupakan persoalan lain yang tak kalah penting untuk segera ditangani.
(Penulis: Mahfudin Nigara - Tabloid BOLA, edisi no. 35, Jumat 26 Oktober 1984)