Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Pelajaran Lain dari Chili

By Caesar Sardi - Rabu, 12 Desember 2012 | 17:00 WIB
Kalah fisik. Andalan nasional baru, Noach Meriem (biru) tertinggal di belakang Jorge Pellicer yang lebih cepat dan kekar ketika PSSI Yunior bertanding melawan Chili Yunior di Senayan, Senin lalu. (Zaenal Effendi)

Sekali lagi kita kedatangan tamu di bulan Oktober. Kali ini Chili dengan kesebelasan yuniornya yang konon sedang dipersiapkan untuk Kejuaraan Dunia Yunior. Mereka dibelokkan ke Jakarta setelah dalam turnamen Piala Merlion di Singapura, seperti halnya PSSI Garuda, tersisih di babak pendahuluan.

Yah, memang tidak terlalu mengecewakan mutu kesebelasan dari Amerika Selatan itu. Setidaknya untuk menjadi teman berlatih yang baik. Persoalannya dalam menerima tamu, kita harus selalu menjadi pihak yang bisa memetik keuntungan, bukan sebaliknya. Keuntungan dalam hal ini, tentu saja minimal dalam hal pengalaman bertanding.

Dengan mutu teknik yang lumayan dari tim tamu itu, pengalaman cukup berguna. Baik bagi juara Pelajar Asia 1984, yang berintikan anak-anak Galasiswa Ragunan dan Solo, maupun bagi Yanita Utama, sang juara Galatama.

Untuk Galasiswa, pertarungannya melawan Chili itu, merupakan pembuktian paling tidak kepada publik Jakarta tentang prestasi super mereka di Kejuaraan Peiajar Asia. Selama ini, tidak banyak orang yang mau dengan dua belah mata memandang mereka. Tetapi begitu mereka menyentak dengan piala berharga itu dari New Delhi, kekaguman mulai menebar. Apalagi saat ini, PSSI Garuda yang sebelumnya sempat merebut hati, sedang memasuki masa suram.

Sedangkan bagi Yanita, pertarungan internasionalnya yang kedua ini juga merupakan pembuktian. Desember mendatang, klub ini akan menjadi wakil Indonesia dalam Kejuaraan Antar Klub ASEAN I di Jakarta.

Sayang keduanya gagal memenangkan pertandingan pembuktian tersebut. Baik sang juara Pelajar Asia maupun kampiun Galatama itu sama-sama menderita kekalahan 0-1. Apa yang terjadi Senin dan Selasa malam lalu itu di Senayan?

Dalam permainan tim, Chili Yunior memang berada minimal satu tingkat di atas kedua tim kita. Ini juga diakui baik oleh bekas kapten PSSI Sutjipto Suntoro maupun Salmon Nasution, pelatih potensial yang baru pulang berguru dari klub Leverkusen, Jerman Barat. Mereka menilai Chili memiliki keunggulan, setidaknya dalam penyelesaian serangan, tentu.

Galasiswa sementara itu dengan modal semangat yang luar biasa dan teknik yang lumayan, berusaha menyentakkan lawannya. Mereka belum cukup perkasa, tapi menggembirakan bahwa mereka tidak demam menghadapi lawan asing itu di depan publik Senayan yang kadang-kadang kejam. Jika dibandingkan dengan PSSI Garuda, anak-anak asuhan Burkhard Pape ini malah lebih berani dan percaya diri. Ini juga diakui pelatih Chili, yang juga menyaksikan penampilan Garuda di Singapura.

Pelatih asal Belanda, Wiel Coerver pun memuji mereka. Terutama beberapa pemain andalan Pape yang, dianggap penuh harapan. "Saya suka Frank Sinatra, Noah, dan Bit-Bit," katanya. Khusus untuk Frank, Coerver meramalkan pemain tersebut cukup punya peluang menjadi bintang besar di Indonesia.

"Ia punya otak yang bagus. Bisa bicara dengan teman-temannya. Ini adalah modal utama untuk menjadi bintang," lanjut bekas pelatih Feyenoord yang mulai tahun depan akan menangani tim nasional Inggris di bawah 19 tahun itu.

Tetapi Coerver yang juga membawa PSSI menjadi finalis Pra Olimpiade 1976 di Jakarta, mengkhawatirkan siklus dan problem sepakbola Indonesia. "Biasanya di sini pemain bagus hanya bisa bertahan dua tahun saja. Setelah itu, mereka akan tenggelam. Ini problem yang saya takutkan pada anak muda itu," tambahnya.

Akan halnya Yanita, mereka juga tidak terlalu buruk meski cukup mengecewakan. Namun untuk tampil dalam Kejuaraan ASEAN nanti Yanita tentu harus lebih disiapkan.

Klub milik Pitoyo Haryanto ini memang sudah dipoles Coerver, tetapi mereka tetap masih kurang cermat membaca permainan lawan. Selain itu, mereka juga tampak mengalami frustrasi setelah berkali-kali gagal menarik lawan untuk keluar dari daerahnya.

"Mereka terlalu rapat. Saya sampai pusing mau berbuat apa. Kita coba lewat sayap, mereka tetap rapat. Apalagi lewat tengah, semua tertutup," ujar Abdul Kadir, pelatih yang bekas sayap kiri nasional itu. Ah, yang tidak main saja sampai frustrasi begitu, bagaimana para pemainnya?

(Penulis: Mahfudin Nigara - Tabloid BOLA, edisi no. 36, 2 November 1984)