Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
ogahan ketika dijumpai BOLA di mess Persija, Menteng. "Apalagi yang mau ditulis tentang saya?" tanyanya. "Kalau mau tulis, ini banyak yang muda-muda." Ia menunjuk pemain Persija lain yang kebetulan sedang berkumpul di ruang makan.
Pagi itu, mereka baru saja usai latihan. Hadi sendiri belum mandi. Masih memakai celana hitam, tanpa kaus.
Galatama akan mandeg? Ia diam sejenak. Mengusap dagu, dan matanya menerawang. "Sekarang saya kan sudah tidak di Galatama lagi," katanya. Barangkali juga untuk menjelaskan bahwa ia tak lagi banyak tahu tentang Liga Sepakbola Utama itu. "Saya tidak bisa memberikan komentar," ujarnya kemudian. Meski begitu, ia toh tetap tampak sangat prihatin. "Ya, nasib pemain perlu kita pikirkan," katanya.
Lewat bendera IM, Hadi cukup lama malang melintang di percaturan sepakbola nasional. Lewat klub itu pula ia mempertaruhkan hidup dan masa depannya. Sesuatu yang wajar, lantaran dunia sepakbola kita, dengan predikat olahraga paling memasyarakat ini, tak juga mampu menempatkan diri sejajar dengan beberapa cabang olahraga lain yang bisa membuat atletnya bergelimangan uang.
Kini, setelah IM mengundurkan diri dari gelanggang elit Galatama dan ia sendiri sudah nongkrong di sepakbola perserikatan, Hadi memang tak seberapa kaget dengan kemungkinan mandegnya Galatama.
Soal dapur rumah tangganya? Itu pun tak terlalu dipusingkannya. Pria yang lahir 25 Desember 1954 ini hanya mengurus istri, adik, dan seorang pembantu. "Kita akan punya pengeluaran besar kalau penghasilan besar. Begitu juga sebaliknya."
Semasa masih di Galatama ia memang mengakui, kadang-kadang bisa membeli sesuatu di luar kebutuhan primer sehari-hari. "Sekarang yang penting cukup makan," katanya. Lebih penting lagi, tentunya, bisa terus bermain bola.
"Wah, buat pemain yang menjadikan sepakbola sebagai sumber penghidupannya, Warta kira ya sedih juga kalau Galatama sampai mandeg," ujar Warta Kusuma lemah ketika dijumpai BOLA di mess Warna Agung, klubnya. Eks pemain PSSI Garuda ini berharap isyu itu tidak benar dan Galatama terus hidup meski banyak kerikil tajam menerpanya kiri kanan.
Tetapi seperti Hadi, libero tangguh Warna Agung ini pun tak merasa begitu pusing. BetuI bahwa ia mendapatkan gaji lumayan, Rp 200.000 per bulan dari klubnya plus beberapa bonus. "Kalau Galatama mandeg Warta mau berwiraswasta," ungkap putra Bekasi ini jujur. "Soalnya bapak Warta kan wiraswastawan."
Itu memang baru salah satu pilihan bagi anak Haji Basuki ini. Pilihan lain tentunya terus bermain bola. Entah lewat Galakarya atau ke Perserikatan seperti langkah yang telah dicontohkan Hadi Ismanto. "Bagaimana Pak Benny saja. Buat Warta, Pak Benny terlalu baik," ujarnya menyebut Benny Mulyono, bos Wama Agung.
Warta dan Hadi, meski memiliki usia yang agak menyolok (Warta lahir 26 Oktober 1962), memiliki persepsi yang sama pada sepakbola. Keduanya juga punya cita-cita yang sama sejak awal: menjadi pemain nasional, terlepas apa pun motivasinya.
"Saya kejar cita-cita itu sejak kecil, dan akhirnya saya dapatkan juga," ujar Hadi, lulusan sebuah STM di Surabaya ini. Hadi masuk diklat Salatiga tahun 1974 untuk setahun kemudian sudah bermain bersama deretan pemain nasional lain di PSSI. Sampai kini, hitung-hitung 10 tahun sudah ia menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk kemajuan dunia sepakbola nasional.
Begitu pula Warta Kusuma, kelas IV SD ia masuk gawang Putra Rama di Rawamangun Jakarta. Selama lebih kurang 3 bulan ia mondar-mandir Bekasi-Rawamangun untuk berlatih di klubnya hingga akhirnya merasa bosan sendiri. "Repotnya kalau pas hujan. Di dalam bis nggak ada orang yang berani deketin Warta," ujarnya lugu. Bujangan yang sebelumnya mau dipesantrenkan oleh ayahnya ini kemudian pindah ke klub Bekasi Putra setelah merasa cukup mampu bermain dengan pemain-pemain yang lebih besar. "Bekasi Putra waktu itu sedang top-topnya," tambahnya.
Sejak kecil, Warta juga sudah rajin mendengarkan siaran pertandingan sepakbola lewat radio. Dengan rajin dan teliti ia mencatat nama-nama para pemain yang disebutkan oleh penyiar. Lalu, setelah dua tahun berlatih di klub barunya itu, ia ikut pula dikirim ke Singapura pada Kejuaraan Lion City Cup. Bekasi Putra mewakili Indonesia karena sebelumnya menggilas tim calon dengan skor telak, 8-0.
Tahun 1981, Bekasi Putra mewakili Jabar pada perebutan Piala KNPI. Pada babak penyisihan di Lampung BP tergusur. Tetapi kegagalan itu, tidak berarti kegagalan pula bagi Warta yang memang ngotot ingin menjadi pemain top. Setelah itu ia ditarik Persib Bandung, memperkuat barisan tim Perserikatan itu.
Tiga hari istirahat di rumah, suatu malam dokter gigi Endang Witarsa menjemputnya dan membawanya langsung ke markas Wama Agung. Jadilah hingga kini di klub itu.
"Kalau Galatama mau mandeg, kayaknya kita-kita di Warna Agung tak begitu khawatir," kata Warta di ujung obrolannya dengan BOLA. "Bos pasti menyalurkan kita."
Kalimat itu memang harus mewakili pemain lain yang klubnya ikut dalam percaturan kompetisi Galatama. Apa pun yang terjadi, mereka tentunya tak akan ditelantarkan begitu saja.
(Penulis: Aba Marjani - Tabloid BOLA, edisi no. 46, Jumat 11 Januari 1985)