Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Bagaimana Nasib Kami?

By Caesar Sardi - Jumat, 1 Februari 2013 | 12:00 WIB
Suharno dan kawan-kawan di depan asrama. (Dok. Tabloid BOLA)

bocah pegawai pabrik yang berlarian dengan benang layang-layang di tangan.

Memang, sejak Pardedetex dibubarkan, jarang terdengar tawa pemain di lapangan. Lebih sering mereka duduk-duduk bergerombol di serambi mess dengan wajah bingung.

Kegiatan rutin berlatih memang masih ada. Tetapi frekuensinya jauh berkurang. Maklumlah, semangat sudah jauh menurun. Latihan sebentar hanya sekedar agar gaji tidak dipotong. "Itu saja," ujar beberapa pemain spontan.

Mess itu memang seperti diliputi mendung. Para pemain bingung. Mereka tidak dapat meramalkan apa yang terjadi setelah klubnya dibubarkan. Mereka belum tahu bagaimana nasib mereka - dan juga keluarganya - di hari-hari mendatang.

"Ketika kami menandatangani kontrak, niat yang ada pada kami hanya satu, bermain sepakbola. Jika klub ini sekarang dibubarkan, tak tahulah awak apa yang akan terjadi selanjutnya," keluh pemain belakang Tonggo Tambunan.

Mereka belum tahu, apa tindakan yang akan diambil Pak Katua, bos mereka. Mereka baru dengar-dengar T.D. Pardede berjanji untuk tidak menelantarkan pemain.

Cahaya Kita

Ternyata tak banyak pemain yang memilih tinggal dan bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil itu. Kemungkinan main lagi jika Pardedetex dihidupkan kembali, tak begitu menarik.

"Sebetulnya hati saya bahagia jika Pak Katua ingin menghidupkan lagi Pardedetex. Bayangkan, saya berada di sini sudah sejak 1979. Hati dan jiwa saya sudah menyatu dengan klub ini. Tetapi kalau diperbolehkan memilih, saya lebih baik pindah ke klub lain," ujar Suharno, pemain bertubuh raksasa yang sering membuat lawan ngeri.

Hamzah Arfah, bekas top scorer, juga berkeinginan sama. "Saya juga mau pindah, ke Cahaya Kita pun boleh, asal harga dan segala sesuatunya beres," katanya sambil berusaha bersiul mendendangkan lagu Rod Stewart.

"Kami senang jika Pardedetex hidup kembali, asal memang terus hidup, jangan bubar lagi," sambung Thomson Napitupulu. Tapi ternyata ia pun ingin pindah klub.

Herry

Suasana jadi seperti mimpi ketika percakapan beralih kepada Herry Kiswanto, bekas libero dan kapten mereka yang kini bermain untuk Yanita Utama Bogor. Gaji Rp 500.000 per bulan, hadiah mobil Charade, dan rumah kontrakan gratis yang diberikan Pitoyo Haryanto, bos Yanita, membuat Suharno cs terkesima.

"Bukan main. Beruntung benar anak itu," tukas John Lesnussa, gelandang dan pemain Pardedetex paling senior. Tapi Suharno cepat menyela. "Kita tak boleh begitu. Nasib manusia memang lain-lain. Kalau ada Herry di sini mungkin klub kita juga tidak bubar. Siapa tahu nasib kita kelak lebih baik?" tukasnya.

Ketika matahari pelan-pelan terbenam, percakapan menghilang, dan mess kembali sunyi, anak-anak Pardedetex itu justru seperti siuman untuk menghadapi kenyataan. Bagaimana nasib kami? Bagaimana keluarga kami?

(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 1/3 Maret 1984)