Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
0. Memang benar, esok harinya koran-koran memberitakan duta-duta bulutangkis putri kita itu dibabat 4-1.
Vera bukannya menyumpahi mereka. Sebaliknya, dalam posisi tak berdaya karena cedera, ia tak henti-hentinya berdoa agar rekan-rekannya selalu berhasil. Tapi memang, Korsel ditempatkannya dalam posisi lebih tinggi. Untungnya kita tidak berhadapan langsung dengan mereka di grup. Kalau kita kalah duluan, bisa gawat," ujarnya.
Vera sedang duduk-duduk bersama suaminya H.M. Fajrin ketika BOLA menemuinya di flat tim nasioaal bulutangkis, Senayan. Fidyan Dini alias Yandi, anak mereka, memeriahkan suasana dengan gerakan tertatih-tatih mempermainkan bola basket.
Vera terpaksa sering melindungi kakinya dari kemungkinan tersodok bola. Cedera achilles di Taiwan Januari lalu yang membuat kakinya harus digips itu memang sudah agah pulih, tapi ia toh masih amat hati-hati.
"Hari ini mustinya Vera tidak perlu lagi memakai pembalut. Tapi gara-gara terpeleset ketika mandi kemarin, jahitan lukanya menganga lagi," tutur Fajrin.
Kesal
Kembali dari Taiwan dengan cedera begitu, Vera pernah merasa pasrah. Seolah-olah karirnya memang sudah putus di situ. "Tapi yang selalu jadi penyesalan saya, kenapa justru musibah ini terjadi ketika kita sedang dituntut tugas berat merebut kembali Piala Uber," kata Vera yang baru di turnamen terbuka Taiwan itu mengayun raket lagi setelah setahun absen.
Bukan karena sombong, tapi ia selalu khawatir tim Indonesia tanpa dia berarti tidak dalam kekuatan penuh. "Sekarang hanya Ivana sendiri yang menjadi tumpuan. Yang lain-lain, yah, belum bisa dipercaya penuh," tambahnya. Maksudnya, tentu kurang pengalaman.
Kini dengan Maria Francisca juga cedera, kekhawatirannya bertambah. Kalau ada Vera, begitu perhitungannya, kekuatan Indonesia dan Korsel seimbang. Ia tak pernah merasa gentar menghadapi para pemain Korsel, kendati dalam Asian Games 82 di New Delhi ia kalah, baik dalam tunggal maupun ganda bersama Ruth Damayanti.
Maka nampaknya, peluang tim putri kita dalam putaran final Piala Uber di Kuala Lumpur Mei nanti tidak lebih baik. Sebab di luar Korsel setidaknya masih ada dua raksasa yang harus diperhitungkan, Jepang dan RRC. Dari turnamen terbuka di Taiwan dan Jepang Januari lalu pun Inggris terbukti tidak boleh dipandang remeh.
King
Dengan bantuan penyangga, Vera tetap berusaha memulihkan kondisi fisiknya. Sedikit demi sedikit ia melancarkan gerakan kakinya, dan untuk melatih tangan ia memanfaatkan dumbel 2 kg. "Supaya jangan kaku," desis nya.
Ia memang berusaha keras untuk tidak menjadi atlet invalid. Lebih dari itu, ia bertekad untuk pada suatu saat nanti tampil kembali dl arena.
"Saya tidak pernah merasa kesibukan keluarga menjadikan prestasi otomatis menurun. Malah setelah punya anak, saya lebih giat berlatih. Saya ingin membuktikan bahwa wanita yang sudah berkeluarga tetap mampu tampil di gelanggang.
"Di negeri kita umumnya orang berpendapat begitu kan? Sudah bersuami, punya anak, dianggap habis masa jayanya. Saya tidak. Saya ingin seperti Billie Jean King. Biar sudah tua dan harus memikirkan keluarga, tapi pukulan raket tenisnya masih mantap," tukasnya.
Vera yang mulai mengayun raket pada usia 9 tabun, juga merasa prihatin menyaksikan pemain-pemain muda sekarang yang dinilainya kurang konsentrasi dalam latihan. "Dalam masa muda saya dulu, tidak begitu. Kalau kita berlatih, betul-betul serius," katanya.
Mungkin karena waktu itu ia dilatih ayahnya sendiri, Wiharjo? Dan saat itu belum banyak godaan hiburan seperti kini? Mungkin juga. Yang jelas dalam usia 10 tahun Vera sudah jadi juara yunior se-DKI. Tahun 1974 ia jadi juara nasional dan enam tahun kemudian juara dunia - dalam usia 22.
Sambil Duduk
Vera dan keluarganya menempati flat di Senayan sejak hampir tiga tahun lalu. Belum ada niat pindah. "Mau pindah ke mana? Cari rumah kan nggak mudah, apalagi pegawai negeri," ujarnya. Fajrin, sang suami, memang pegawai negeri di Departemen Agama.
Tapi Vera bukannya tak punya modal untuk kelak pindah ke rumah yang lebih baik. Di daerah Bintaro, Kebayoran Lama, ia memiliki tanah seluas 500 meter persegi, hadiah dari PT Astra lima tahun lalu. "Semuanya 2.000 meter persegi. Tapi harus dibagi empat dengan Liem Swie King, Christian, dan Imelda," tambahnya.
Vera mungkin juga terlampau merendah ketika mengatakan untuk mengurus sertifikat tanahnya saja ia belum tentu mampu. Kontraknya dengan pembuat raket Kawasaki misalnya, tentu lumayan. Konon sampai 15 ribu dollar alias Rp 15 juta setahun.
Tapi nampaknya urusan duniawi tak begitu memusingkannya. Wanita yang sudah menunaikan ibadah haji tiga tahun lalu ini lebih senang bercerita bahwa dia tetap rajin sembahyang lima waktu, kendati tak bisa berdiri. "Sambil duduk kan bisa?" ujarnya.
Mungkin dengan cara itu pula ia kelak ikut berpartisipasi ketika Ivana cs harus berjuang keras memperebutkan Piala Uber di Kuala Lumpur. Berdoa, dan berdoa.
(Penulis: Hikmat Kusumaningrat, Tabloid BOLA edisi no. 1/3 Maret 1984)