Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sebuah kartu merah yang dikeluarkan wasit Kosasih Kartadiredja untuk gelandang Yanita Utama, Joko Malis, menamatkan persaingan terselubung antara bekas pemain Niac Mitra itu dengan rekan seklubnya Bambang Nurdiansyah.
Hukuman yang dijatuhkan wasit setelah benturan keras dengan kiper Tempo Utama, FX Cahyono, Minggu sore lalu di Bandung, memaksa bujangan kota buaya ini jadi penonton dalam pertandingan akhir Yanita.
Dan Bambang yang sore itu kembali menjebolkan gawang Tempo Utama, boleh tersenyum. Selain untuk sementara ia unggul satu gol dari Joko (12 banding 11), pemuda kelahiran Banjarmasin itu juga bisa berlenggang dalam sisa pertaningan tanpa saingan.
Keduanya menolak diisyukan saling bersaing untuk menapak di puncak top scorer. "Nggak ada apa-apa mas!" tukas keduanya secara terpisah. Mereka merasa kepentingan klub harus dinomorsatukan.
Tetapi di lapangan, kesan saling menutup diri dan mengejar puncak top scorer terasa sekali. Keduanya seperti tak saling memberi. Kalaupun ada umpan-umpan yang kemudian menghasilkan gol dari keduanya, itu lebih terasa akibat posisi yang terpaksa.
Misalnya ketika klub Kota Hujan itu memporakporandakan Angkasa di Stadion Pluit, 8-0. Kalau dua andalan bos Pitoyo Haryanto itu mau saling mengisi, akan lebih sering kiper lawan memungut bola di dalam jaringnya.
Ketika itu Joko sudah mencetak empat gol dan Bambang tiga. Di menit-menit akhir, kedua pemain tersebut bersamaan tinggal menghadapi kiper A. Rake. Kalau saja Joko menggulirkan bola ke sisi kanan di mana Bambang berlari dalam posisi bebas...
Demikian pula yang terjadi pada Bambang. Setelah mencetak gol tunggal pada pertandingan melawan UMS 80 di Stadion Utama Senayan, bekas pemain Arseto, Tunas Inti, dan Tempo Utama itu juga tidak menggulirkan bola ke kanan di mana Joko berdiri bebas. Bambang justru menyepak si kulit bundar ke arah kiper Haryanto, walaupun sudutnya tidak memungkinkan.
Lepas dari dampak negatif persaingan itu, sejak keduanya turun satu bendera, duet ini menjadi amat berbahaya. Keduanya mampu mendobrak pertahanan klub manapun untuk mencuri gol demi gol.
Perpaduan dua karakter penyerang yang cepat dan pantang menyerah itu membuat banyak pelatih Galatama harus terus memperhitungkannya. Joko yang memiliki pengalaman lebih bagus, sering menjadi pengumpan dan penyelesai serangan. Sementara Bambang yang tenggelam di tiga klub sebelumnya, menjadi pengacau pertahanan yang efektif jika keduanya tidak saling bersaing
individualistis seperti itu. Barangkali Yanita akan jauh lebih banyak memperoleh gol kemenangan.
Namun dari persaingan ini pula keduanya memperoleh keuntungan. Joko yang di Niac Mitra tahun lalu tidak terlalu menonjol karena terkikis Fandi Ahmad dan Syamsul Arifin, serta Bambang yang terbenam di tiga klub, kini sama-sama menyentak ke atas.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 2, Jumat 9 Maret 1984)