Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
hijau, warna kebesaran klub Tunas Inti akan ditanggalkannya, setelah berakhirnya seluruh rangkaian kompetisi 83-84.
"Saya akan bertukar profesi," katanya singkat. Namun ia menegaskan kehidupannya dengan sepakbola tak mungkin berpisah. Untuk itu, setelah menggantungkan sepatu sebagai pemain, ia akan ganti kostum pelatih.
Ronny ingin menuntut ilmu sebagai pelatih di negeri sepakbola, Brasil. Tetapi ia belum berani memastikannya. "Tunggu om Benniardi pulang. Saya sendiri nggak tahu mesti belajar ke mana. Tapi yang pasti saya memang akan belajar ilmu melatih," tutur ayah tiga putra ini.
Dari kebiasaan dan fanatisme Benniardi, bos besar klub Tunas Inti, kiblat yang akan dituju Ronny bisa diduga Brasil. Tunas Inti memang sudah berbau Brasil. Dua tim dari negeri Pele itu sudah pernah didatangkannya, Brasil All Stars dan Corinthians. Selain itu pelatih Tunas Inti Junior, Sinyo Aliandoe, dua bulan lalu dikirim pula ke negeri Samba itu.
Umur yang makin menua (34) membuat Ronny bertekad untuk gantung sepatu. Padahal dunia sepakbola tak dapat dipisahkannya. "Saya cinta sepakbola seperti saya mencintai Stella dan anak-anak," katanya. Stella adalah nama istrinya.
Lepas dari itu, Ronny adalah figur pemain sepakbola terbaik untuk satu dasawarsa ini di tanah air. Bahkan ketika ia sudah tak lagi ditampilkan PSSI untuk memperkuat tim nasional, Malaysia memakainya untuk tim Asian All Stars beberapa waktu lalu.
Dalam kompetisi Galatama, banyak pemain lawan yang segan kepadanya. Paling tidak jarang pemain lawan yang berani bermain kayu kepadanya. Ini rasanya juga bukti tentang keperkasaannya di atas lapangan.
Tunas Inti sendiri sangat besar merasakan hal itu. Sejak Ronny bergabung ke klub dengan pendukung finansial PT Tempo itu, Januari 1983, perlahan-lahan posisi Tunas naik. Hingga akhirnya orang banyak meramalkan mahkota juara akan diraih Tunas Inti.
Namun Ronny sendiri tidak merasakannya. "Saya bukan apa-apa. Main sepakbola 11 orang. Saya hanya sebagian kecil dari itu. Dalam tim semuanya berperan, termasuk pelatih, asisten, dan pembantu," katanya merendah.
Merasa atau tidak, hadirnya Ronny di klub kuning-hijau itu sangat berarti. Sifat ngemongnya terhadap pemain muda, banyak membantu proses pematangan para pemain muda. Seperti Ranny Ngawaro, Mansyur Ngawaro, Jeffrey Samuel eks Bintang Timur, Thalib Rajab bekas UMS 80, dan pemain Tunas lainnya. Moril pemain-pemain muda itu menjadi besar karena dorongan Ronny.
Begitu juga ketika ia masih bergabung di Warna Agung, klub yang membuatnya menanjak sejak tahun 1976. Di klub itu, dalam setengah musim kompetisi 1982-83, ia mampu membantu mencetak bibit-bibit unggul. Jasanya diakui sebagian besar pemain Warna Agung saat ini. Kecuali kecanduannya merokok yang membuatnya pernah bentrok dengan Ketua Umum PSSI, Bardosono.
"Bang Ronny banyak membantu kami," ujar Warta Kusuma, Dudung Abdullah, dan beberapa pemain muda Warna Agung lainnya. Begitu juga ucapan yang dikemukakan pelatih drg Endang Witarsa. "Saya kehilangan besar ketika Ronny hijrah ke Tunas Inti. Dari dia saya berharap bibit-bibit muda itu berkembang menjadi matang," tutur dokter Endang. Ya, itulah Ronny yang tak lama lagi akan menghilang dari lapangan. Ronny yang mampu menari dengan lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping. Mempermainkan si kulit bundar dengan ketegaran.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 4, Jumat 23 Maret 1984)