Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
praktek suap, ibarat api yang terguyur es.
Saran itu mencuat sebentar, tapi kemudian menurun kembali dan hilang setelah timbul berbagai reaksi dan komentar termasuk dari Menpora Abdul Gafur dan kalangan DPR. Dikatakan antara lain, toto itu termasuk judi, karenanya tak boleh dihidupkan lagi.
Tapi minggu ini muncul lagi tanggapan dan nampaknya menarik karena - atau meskipun - pencetusnya adalah Lo Bie Tek, tokoh yang kita kenal sebagai petaruh disamping membantu pembiayaan klub yang kini dibekukan oleh PSSI, Cahaya Kita.
Bie Tek menyayangkan kalau sampai usul Adam Malik itu tidak dipertimbangkan secara baik oleh PSSI. Sebab, menurut dia, manfaat positifnya cukup banyak. Hasilnya tidak saja untuk dana sosial pemerintah tapi juga membantu kesebelasan yang bertanding, hingga bisa misalnya untuk tambahan bonus pemain.
Resep
Bie Tek mengatakan, toto merupakan resep yang tepat untuk menutup kemungkinan terjadinya lagi kasus-kasus suap. "Jumlah petaruh di Indonesia jutaan. Ada yang memang pecandu sepakbola, ada yang hanya senang bertaruh. Tapi kalau ada toto, mereka pasti akan tertarik menyaksikan pertandingan," katanya.
Dari satu segi itu saja, persepakbolaan kita, terutama Galatama yang memang paling banyak bertanding melalui rangkaian kompetisinya, akan mendapat keuntungan besar. Jumlah penonton meningkat, dengan sendirinya penghasilan naik pula, dan klub-klub bisa terhindar dari kerugian yang selama ini terus mereka telan.
Di samping itu para pemain pun dapat digaji lebib besar. "Bisa sampai Rp 2 juta per bulan," kata Bie Tek. Dan karena gajinya sudah begitu baik, katanya lagi, pikiran untuk mencari tambahan dengan main mata dengan para petaruh pasti sulit timbul.
40 Persen
Menurut Bie Tek, yang resminya pedagang mobil dan juga penggemar olahraga layar, toto tidak hanya akan didukung penuh oleh para petaruh karena mereka jadi ingin nonton pertandingan. Tapi juga mencegah kerugian jika harus sampai melakukan tindakan hitam: menyuap pemain.
Dia menilai sejumlah petaruh sekarang sebetulnya melakukan tindakan yang bodoh dengan menyuap pemain. "Berapa juta rupiah pun yang mereka keluarkan untuk pemain, kemungkinan memenangkan taruhan hanya 40 persen," katanya.
Kenapa? Jawabannya mungkin akan mengejutkan. Dengarlah. "Sebab pemain-pemain itu sering licik. Mereka tidak hanya berhubungan dengan satu petaruh. Apalagi pemain yang top. Mereka biasa menghubungi dua sampai tiga petaruh. Karena itu bagaimanapun akhirnya skor pertandingan, si pemain tetap untung," tutur Bie Tek.
Diingatkannya lagi, dengan toto, pemerintah bisa menikmati jutaan rupiah yang selama ini beredar di pasar taruhan tanpa terkendali. Di samping itu sekitar 10.000 tenaga kerja akan dapat pula disalurkan.
Bukan Judi
Menurut Bie Tek, toto sama dengan taruhan, karena itu tidak termasuk judi. "Saya sendiri tak suka judi. Tapi kalau bertaruh itu kan wajar. Seperti tebak-tebakan saja. Kenikmatannya adalah menunggu tepat tidaknya hasil tebakan itu," katanya enak.
Dia lebih yakin dengan ucapannya itu karena toto yang disarankannya untuk dipertimbangkan PSSI itu bukanlah dengan angka-angka yang berasal dari skor pertandingan. "Cukup dengan kalah atau menang saja. Dan tidak hanya dari satu pertandingan, tapi minimal lima pertandingan," tambahnya.
Soehardjo Soerjobroto, bekas pengurus PSSI, maupun Udi Harsono, bekas anggota Komite Dana KONI Pusat, nampaknya juga tidak berkeberatan dengan usul Bie Tek.
Soalnya Soehardjo maupun Udi pernab sama-sama diutus oleb lembaganya untuk mempelajari sistem-sistem toto di Eropa, untuk dipilih yang paling cocok buat Indonesia.
Vernon
Begitulah, tahun 1976 Soehardjo dikirim PSSI yang waktu itu dipimpin Bardosono, ke Italia, Belanda, Prancis, dan Inggris, setelah lebih dulu menyinggahi AS. Pilih-pilih, jatuhlah pada sistem Vernon-Pools Football Forecast dari Inggris.
Utusan Vernon kemudian malah ganti berkunjung ke Jakarta dan berunding dengan PSSI. Langkah bagus karena KONI Pusat, Kejaksaan, dan juga Depsos, menurut Soehardjo, setuju. "Tapi pihak Kopkamtib tidak. Alasannya, menjelang pemilu," katanya.
Tapi meski setelah pemilu, konsep itu tidak diterima, karena dianggap judi. "Padahal sistem ini lebih baik dari Undian Harapan," kata Soehardjo. Alasannya, yang ditebak harus menyangkut paling tidak 13 pertandingan dalam seminggu.
Begitu pula yang dikatakan Udi mengenai sistem toto Italia yang dianggapnya cocok untuk Indonesia sebagai hasil lawatannya ke sana tahun 1967. "Yang ditebak adalah hasil menang, kalah, atau seri. Dan minimal dari 10 pertandingan." tuturnya.
Entahlah bagaimana akhirnya penyelesaian masalah ini. Yang jelas, semua pihak bermaksud baik. Tapi sayangnya, sementara keputusan belum bisa diambil, hantu suap terus saja mengintip.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 9, Jumat 27 April 1984)