Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kalau ABRI masuk PSSI, bukan hal baru. Tapi kalau PSSI masuk ABRI, ini baru hal. Selasa siang lalu, 25 pemain PSSI Garuda memang masuk ABRI, meski hanya untuk pendidikan selama satu bulan di Pusat Pendidikan POM ABRI, Cimahi.
Dalam pakaian seragam hijau-hijau, sepatu bot hitam, dan rambut dipangkas pendek, anak-anak itu memang sudah menyerupai para prajurit militer ketimbang sebagai pemain sepakbola.
Waktu mereka dilepas secara resmi oleh Ketua Umum PSSI, Kardono, sehari sebelumnya di sekretariat PSSI, banyak pelatih yang mesem-mesem. Kebetu1an siang itu, PSSI juga meresmikan kursus pelatih nasional yang dibuka secara bersamaan oleh Kardono.
Ada pelatih yang malah bertanya: "Kok pake baju tentara segala?" Tetapi tentu saja dengan suara yang begitu perlahan. Banyak di antara mereka menyangsikan keberhasilan pembinaan di Cimahi. Alasannya macam-macam.
"Kalau kita lihat dari sudut sepakbola, langkah ini tidak ada kaitannya sama sekali. Tapi barangkali yang mau diambil sudut disiplinnya saja. Dalam pendidikan kemiliteran, tingkat disiplin itu memang nomor satu. Jadi memang tepat kalau hanya ingin mengambil itunya saja," ujar Eddy Simon, pelatih yang pernah membawa PSMS Medan junior menjadi juara nasional tahun 1980.
Memang sisi disiplin yang lebih ditekankan oleh PSSI, seperti diungkapkan oleh ketua umumnya. "Mereka pakai baju hijau bukan untuk jadi ABRI atau di-ABRI-kan, tetapi hanya sekedar memetik pelajaran disiplin saja," katanya.
Lepas dari itu, langkah yang dilakukan oleh Kardono, memang barang baru. Dulu memang ada tim nasional yang digodok di markas AURI di Jakarta dan Yogyakarta. Tapi tidak sampai di-tentara-kan betul-betul seperti sekarang.
Kurungan
Menurut Letkol IGK Manila, komandan pusat pendidikan tersebut, tidak ada cara yang terbaik untuk menempa tingkat kedisiplinan selain dengan jenjang kemiliteran. "Dalam tubuh ABRI, hirarki itu mutlak. Orang tidak bisa main-main dengan disiplin!" tukasnya.
Untuk itu segala bentuk tata cara yang berlaku bagi prajurit pendidikan, juga diberlakukan bagi para pemain PSSI Garuda. Bahkan kalau ada pemain yang melakukan tindak indisipliner, hukuman kurungan juga akan diterapkan. "Pokoknya dalam waktu satu bulan, saya benar-benar menganggap seluruh pemain adalah prajurit pendidikan. Tidak ada keistimewaan," sambung Manila.
Bagi Kardono, efek dari penempaan itu yang justru dicari. "Kalau mereka sudah tahu bagaimana tingkat disiplin yang sesungguhnya, maka mereka tahu kalau harus lari ya lari. Kalau harus berjuang ya berjuang. Pokoknya mereka jadi mengerti apa yang mesti dan tidak dilakukannya," tutur sekmil kepresidenan itu.
Menurut Kardono, Presiden Soeharto mengharapkan agar PSSI mampu meningkatkan motivasi dan peningkatan prestasi. "Jadi untuk memenuhi wejangan beliau, saya perlu menerapkan hal ini."
Ngejedor
Di Cimahi para pemain juga diwajibkan mengetahui seluk-beluk senjata api. "Bukan untuk menembak yang bukan-bukan, tetapi untuk meningkatkan kewaspadaan dan lebih meningkatkan kedisiplinan," kilah Manila. Dengan berlatih senjata, maka orang akan lebih waspada dan disiplin. "Kalau tidak, bisa ngejedor sendiri ke mukanya," sambung ayah dua putra itu dengan suara berat.
IGK Manila yang namanya melejit setelah operasi Ganesha di Lampung, melukiskan betapa tanggung jawab yang dibebankan di pundaknya itu sangat berat. "Garuda bukan gajah-gajah seperti di Lampung dulu. Sekali ini mereka merupakan tumpuan harapan banyak orang, Kalau saya gagal, repot juga. Tapi kalau berhasil, yah saya bangga," ucap raja gajah yang berkumis tebal itu sambil tersenyum.
Ia memang mengaku ada perasaan bangga yang menjalari tubuhnya. "Banyak tempat pendidikan, tapi PSSI memilih tempat saya. Ini adalah kehormatan. Kepercayaan nasional-lah yang saya emban saat ini. Tolong doakan supaya berhasil," ujarnya berharap.
FMD
Selama satu bulan, seluruh pemain PSSI Garuda akan mendapat pendidikan berat bagi mereka. Pagi pukul 04.00 trompet dibunyikan. Bangun dan yang beragama Islam dipersilakan melakukan sholat Subuh. Kemudian pukul 05.00, pakaian seragam sudah dikenakan. Tiga puluh menit setelah itu, apel dimulai.
Pukul 06.30, senam pertama. Setelah itu latihan beruntun hingga waktu makan siang pukul 12.00. Setelah istirahat dan sholat Dhuhur, latihan dilanjutkan hingga pukul 14.00. Istirahat dari pukuL 14.30 hingga 16.00. Setelah itu acara kemiliteran lagi hingga pukul 18.00.
Malamnya diskusi serta tambahan pelajaran tertulis di ruangan. Ketika ditanya acara terperinci, Manila menolak. "Pokoknya dari pagi sampai malam terdiri dari pembinaan FMD (fisik mental disiplin)," katanya.
Tentu saja ada pelajaran merayap di bawah kawat, lari lintas alam, menembak, dan sebagainya. Untuk menjaga agar dasar sepakbolanya tidak hilang, pelatih fisik Ridenio Borges asisten Barbatana dari Brazil diikut-sertakan. Borges bersama Eddy Sofyan, asisten pelatih yang menangani tim ini sejak dua tahun lalu, diharapkan bisa terus mengawasi perkembangan sepakbola dari para pemain selama di pusat militer itu.
Mudah mudahan, bulan depan Marzuki dan kawan-kawan sudah lebih disiplin dan berprestasi sebelum bertolak ke Brasil untuk berguru di negerinya Barbatana. Di sana selain berlatih, mereka juga akan melakukan berbagai pertandingan uji coba dengan klub-klub setempat.
Bulan Agustus, mereka akan kembali ke tanah air dan langsung berlaga di Kejuaraan Asia, tahap pertama, di Jakarta.
Menurut para pemain, pendidikan militer itu merupakan penambahan pengetahuan yang baik. "Kami benar-benar beruntung. Selain bisa main sepakbola, juga bisa mengetahui bagaimana cara prajurit berlatih," ujar Marzuki yang baru lulus SMA Pelita.
Aji Ridwan Mas, kapten PSSI Garuda, mengharapkan dengan Pusdik itu segi-segi mereka yang selama ini kurang, bisa diperbaiki. "Yah, biar semua bisa gampang diberi komando, ' katanya. Penyerang tengah Anjar Rahmulyono mengiyakan.
Hermansyah, kiper muda potensial yang menjadi benteng kukuh PSSI Garuda, tidak merasa takut akan digojlok keras. "Ini semua demi kemajuan kami. Malah beruntung kami diajari pegang pistol," katanya sambil tertawa.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 10, Jumat 4 Mei 1984)