Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
ramai seusai final kompetisi Galatama 83-84 di Stadion Utama Senayan, pekan lalu.
Sebab Yanita Utama, klub miliknya yang malam itu tampil sebagai juara baru dengan menundukkan Mercu Buana 1-0, memang tak lain hasil binaan kilat yang sukses dari sebuah reruntuhan. Orang Inggris bilang "instant success" - prestasi yang jarang dihasilkan dari suatu olahraga beregu.
Tapi itulah memang yang terjadi. Apalagi Yanita sekaligus juga menempatkan dua pemain depan andalannya, Bambang Nurdiansyah dan Joko Malis, sebagai top scorer dengan 16 dan 15 gol. Hingga, sekali lagi, Pitoyo pantas sekali amat bersuka cita. Pantas sekali memberikan bonus besar kepada para pemain dan ofisialnya. Dan juga berpesta ria di sebuah hotel berbintang empat.
Yanita tak lain adalah kelanjutan dari Jaka Utama yang sempat pingsan akibat prestasinya yang menurun maupun gerogotan hantu suap. Tapi Pitoyo toh nyaris tidak memperoleh berkah dari klub yang hampir bubar itu kalau tak ada Sigit Harjojudanto, tokoh muda lain yang membangun Arseto dan kini ikut memimpin PSSI.
Itu terjadi dua tahun lalu. Pitoyo berniat membina sendiri Yanita Utama, sebuah klub yang dibentuk di lingkungan perkebunan miliknya, untuk masuk dalam kancah Galatama. Tapi atas saran Sigit, ia batalkan niat itu dan melanjutkan nafas Jaka Utama yang hampir putus dan digores noda hitam.
Modalnya setelah menerima Jaka Utama dengan ganti rugi Rp 25 juta, hanyalah sembilan pemain dengan pelatih Yakob Sihasale. Tak heran kalau startnya kurang mulus. Juga meski Yakob, dengan bantuan rekannya di PSSI dulu, Abdul Kadir yang jadi manajer, merekrut beberapa pemain baru dari UMS 80, Jayakarta, dan lain-lain, belum nampak perubahan berarti.
Langkah berikutnya tetap gagal. Niat mengontrak ujung tombak tim nasional Muangthai, Piyapong Peuon, tak pernah menjadi kenyataan. Hingga kompetisi 82-83 pun dilalui dengan lebih banyak kekalahan, kecuali perubahan nama resmi menjadi Yanita Utama.
Dan sejak dengan nama baru itulah Yanita tampil lebih tegar. Apalagi karena bersama itu direkrut lagi sejumlah pemain baru termasuk Bambang Nurdiansyah yang sebelumnya melanglang hampir tanpa prestasi berarti dari Arseto dan kemudian Tempo Utama.
Di tengah perjalanan ke tangga lebih tinggi itu, datang musibah. Yakob meninggal secara mendadak. Pitoyo dan seluruh kubu Yanita amat terpukul dengan kepergian pelatihnya itu. Tapi toh tak membuat mereka berhenti. Bahkan kepergian Yakob seperti menjadi cambuk untuk bangkit lebih hebat.
Maka beruntunlah sejumlah pemain yang berkaliber bintang memasuki klub ini: Joko Malis, Rudy Kelces, Yudi Suryata dari klub juara waktu itu, Niac Mitra. Kemudian menyusul pula Herry Kiswanto, salah satu libero terbaik negeri ini yang dengan susah payah keluar dari Pardedetex sebelum dibubarkan.
Barangkali tepat kalau dikatakan paduan antara kepemimpinan Pitoyo yang kadang-kadang meledak dan kekompakan para bintang itulah kunci sukses Yanita. Sebab klub ini resminya tidak punya pelatih sejak kepergian Yakob. Sofyan Hadi, bekas pemain nasional dan Jayakarta, memang kemudian praktis jadi pelatih meski tanpa sertifikat apapun.
Lebih unik lagi, dalam final melawan Mercu Buana malam itu Yanita tidak diperkuat Herry Kiswanto maupun Yudi Suryata. Rudy Kelces pun belum pulih benar dari cedera kaki, hingga ia harus lebih hati-hati memimpin lapangan tengah bersama Arief Hidayat, adik Sofyan Hadi.
Tapi apa mau dikata, kekuatan seperti itupun ternyata cukup untuk menghulubalangkan Mercu dari posisi sebagai kuda hitam terus menerus. Sebuah gol kilat dari Bujang Nasril mengoyakkan gawang Mercu, memancing langsung sorak sorai dan genderang ria sebagian dari 50.000 penonton, mengantarkan Yanita dari reruntuhan jadi juara!
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 13, Jumat 25 Mei 1984)