Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Hastomo Arbi, Tetaplah Rendah Hati

By Caesar Sardi - Rabu, 27 Februari 2013 | 19:00 WIB
Piala Thomas diarak keliling kota Surabaya. (Dok. Tabloid BOLA)

2 di Kuala Lumpur.

Sepuluh hari dengan serba sorak sorai, pujian, senyum, bunga, dan juga berbagai macam hadiah, memang pantas bagi kepahlawanan seluruh anggota tim putra terbaik kita. Terutama Hastomo Arbi yang dianggap sebagai kunci pembuka pintu kemenangan.

Tapi lebih dari itu dan lebih dari lima kota yang harus didatangi sang tim juara untuk terus menerus mengikuti sambutan dalam upacara dan arak-arakan panjang, mungkin pengaruhnya justru tidak akan menguntungkan Hastomo dan kawan-kawannya. Bukan hanya keletihan fisik yang harus mereka telan kemudian. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan mereka menjadi lupa diri, larut dalam kegembiraan yang berkepanjangan.

Maka syukurlah, ketika menyambut para pahlawan bulutangkis dan olahraga nasional itu di Semarang pekan lalu, Gubernur Jawa Tengah Ismail sudah memberikan isyarat. "Saya mengharapkan Hastomo tetap rendah hati, tidak takabur," pesannya.

Di Kudus sehari kemudian, Gunawan Setiadi alias Goei Hwat Sing, kakak dari ibunda Hastomo, juga memberikan tengara yang kurang lebih sama. "Jangan sampai Hastomo menjadi lupa diri. Itulah pesan saya kepadanya," katanya kepada saya mengulangi ucapannya kepada kemenakannya itu.

Dari reaksi Hastomo sendiri maupun kisah kehidupannya sejak kecil yang bisa saya telusuri serba sedikit di sela rangkaian pesta panjang itu, peringatan gubernur maupun Gunawan sebenarnya sudah muncul sendiri dari tubuh Hastomo.

Ia, tentu saja, memang amat bergembira dan bangga menikmati sukses dan kemudian pesta yang begitu meriah itu. Apalagi penuh dengan bunga dan senyum dari remaja-remaja putri yang kadang-kadang nampak histeris. Tapi Hastomo tidak hanya senang dan bangga.

Ia juga cukup arif untuk menyadari bahwa sukses merebut kembali Piala Thomas sama sekali bukan hasil perjuangannya sendiri. "Ini hasil perjuangan seluruh tim," ujarnya.

Bahkan kemenangannya yang gemilang atas Han Jian tidak dianggapnya istimewa. Bukan pula dianggapnya sebagai bukti keunggulan dirinya atas salah satu pemain terbaik dunia itu. "Bukan saya yang hebat, tapi Han Jian sedang tidak fit. Dia sakit," katanya lagi.

Sikap rendah hati, tak mau disanjung, dan juga pemalu, memang mengendap dalam diri pemuda kelahiran Plenyikan, Kudus, 26 Agustus 1958 ini. "Wah, kalah." begitu ia dulu sering menggumam ketika pulang dari pertandingan.

Memang aneh sifatnya. Sebab dengan mengatakan sesuatu ia belum tentu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Ang Tjing Bik, ayahnya, mencek kepada teman-temannya, ternyata Ang Tjong Ho - begitulah namanya dulu - justru memenangkan pertandingan yang telah dituturkannya kalah itu.

Hastomo mewarisi darah ayahnya maupun ibunya, Sri Hartati alias Goei Giok Nio. Ayahnya memang dikenal tidak suka banyak bicara. Tapi dalam kediamannya ia adalah jagoan. Di tahun 1950-an Tjing Bik merupakan "macan bulutangkis" untuk kawasan Keresidenan Pati. Dan di waktu mudaya ia tidak hanya juara tenis meja, tapi ikut pula dalam tim bola basket Yogyakarta ke PON I di Solo.

Raut muka Hastomo yang manis itu, dan ini yang lebih membuat banyak gadis tergila-gila, mengalir dari darah ibunya, termasuk keramahan dan senyumnya yang seperti tak pernah habis. Tapi jangan kira Hastomo, dulu, tak suka berkelahi. "Hanya memang ia tidak sampai nakal berlebihan," kata Tio Sioe Ban, teman akrab ayahnya sejak kecil.

Ang Tjong Ho lahir sebagai anak kedua dan putra pertama dari keluarga Ang Tjing Bik yang kini sudah dikaruniai tiga cucu. Ketiga cucu itu dilahirkan dari keluarga Imelda Aryani (anak pertama) dan Puspo Rini (anak ketiga). Tiga adik Hastomo lainnya, Hariadi, Edi Hartono (juga anggota pelatnas bulutangkis) dan Harianti, seperti Hastomo sendiri, belum menikah.

"Setahu saya Hastomo memang belum punya pasangan. Tapi bagaimana ya, dia kan lebih banyak tinggal di Jakarta," tutur Gunawan Setiadi menduga-duga. Dan Hastomo sendiri selalu menjawab pertanyaan mengenai masa depannya yang satu itu dengan senyum dan tawa.

Senyum, yang berarti kebahagiaan, kini memang juga patut ditebarkan dalam keluarga Ang Tjing Bik. Sampai tahun 1965 mereka masih tinggal dalam kamar 3x3 meter di rumah sewa yang kini pun masih ditempati Gunawan Setiadi di Plenyikan. Pindah ke rumah sewa lain yang agak lebih baik hingga 1981, dan sekarang bisa diam di rumah sendiri yang cukup luas di Jalan Kramat Besar 437.

Sementara itu Hastomo sendiri kini tentu sudah bisa lebih tersenyum dengan hadiah-hadiah yang diterimanya berkat sukses Kuala Lumpur yang hebat itu. Ia tidak hanya memperoleh bagian cukup mengesankan dari deretan hadiah uang untuk seluruh anggota tim, tapi juga sebidang tanah bagus di atas tanah 300 meter di kawasan Gunung Putri, Bogor, sumbangan Ferry Sonneville dan kawan-kawannya.

Siapa yang akan jadi kawan tetapnya dalam rumah itu, mungkin hanya soal waktu - dan nampaknya tinggal memilih saja - bagi Hastomo. Tapi kalau bisa, mungkin ia akan memilih Mbok Kisut sebagai pembantu rumah tangganya. Sebab perempuan tua itulah, kini sudah meninggal, yang banyak berjasa menempa awal karirnya. "Jasa Mbok Kisut sangat besar. Dialah yang dengan setia selalu melayani keperluan Hastomo berlatih - dengan raket ayahnya," tutur Gunawan Setiadi lagi.

Seorang yang rendah hati seperti Hastomo memang tidak akan melupakan Mbok Kisut, dan siapa pun yang telah membantunya menjadi besar bahkan jadi pahlawan seperti sekarang. Juga halaman rumah petaknya yang dulu dijadikan tempat berlatih serta tembok-tembok yang jadi lawan kalau ia sendirian.

(Penulis: A. Waluyono, Tabloid BOLA edisi no. 14, Sabtu 2 Juni 1984)