Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sebenarnya PSSI bermaksud memberikan hadiah berharga bagi klub Mandala, juara nasional antar klub perserikatan, dengan menurunkannya dalam segitiga internasional melawan Queens Park Rangers dan Feyenoord. Tetapi apa daya, yang muncul minggu lalu di Stadion Utama Senayan adalah perbedaan kelas yang menyolok. Mandala masih terlalu jauh di bawah dua klub dari Inggris dan Belanda tersebut.
Tentu saja pertandingan jadi tak enak ditonton. Imbauan Sekretaris umum PSSI Nugraha Besoes, agar kedua tim tamu itu bermain sungguhan melawan Mandala, sama sekali tak tampak. Mereka bermain santai saja, dan Mandala sudah jadi bahan tertawaan.
Johan Cruyff yang memimpin Feyenoord bisa saja menelan Mandala lebih dari 5-0 jika mereka menginginkannya. Tetapi tampaknya bintang Piala Dunia 74 tersebut enggan membuat malu lebih besar pada wajah persepakbolaan Indonesia.
Untunglah dalam penampilannya yang kedua melawan QPR, Mandala mampu memberi perlawanan lebih lumayan, meski akhirnya juga harus menyerah 2-3.
Jika PSSI benar-benar ingin memberikan pengalaman internasional, cukup mendatangkan klub atau tim dari Asia saja. Syukur tim yang akan jadi lawan kita dalam kejuaraan Piala Asia atau Pra Piala Dania. Dengan demikian PSSI sendiri juga akan bisa lebih tahu kekuatan calon lawan.
Tapi syukurlah pelatih Mandala, Henky Heipon menilai pertarungannya baik melawan Feyenoord maupun QPR sebagai pelajaran yang amat berharga. "Kita bisa melihat dan mengambil sedikit pengetahuan mereka," katanya. Henky juga tidak merasa hadiah ini sebagai sesuatu yang mempermalukannya. "Kita memang berada di bawah mereka. Itu harus kita akui dengan jujur," sambung Henky.
Rugi Besar
Lepas dari itu, segitiga tersebut terbukti telah menjerat leher panitia. Yayasan Andi Pangeran yang diketuai Andi Serang selaku sponsor harus menelan kerugian yang tak kepalang. Menurut sumber BOLA, panitia telah mengeluarkan biaya tidak kurang dari Rp 250 juta.
Ini termasuk pembayaran kedua klub asing masing-masing 50 juta. Kemudian biaya hotel dan transportasi mereka pergi pulang. Juga biaya untuk Mandala, biaya pertarungan selama tiga hari dan bayaran (fee) untuk PSSI. Padahal pemasukan dari tiga pertandingan tidak sampai Rp 50 juta. Hari pertama konon panitia hanya bisa memetik sekitar Rp 4 juta, hari kedua lebih sedikit lagi, dan terakhir barulah lumayan, sekitar Rp 36 juta.
Tapi kalau saja bisa diatur agar PSSI Garuda yang dihadapkan, barangkali ceritanya jadi lain. Garuda sejak kemenangannya atas Arab Saudi beberapa waktu yang lalu, terus menjadi tumpuan harapan masyarakat sepakbola Indonesia.
Tetapi rupanya PSSI kepalang telah memberi janji kepada Mandala begitu mereka memenangkan kejuaraan nasional antar klub di Semarang. Sedangkan Garuda lagi tanggung: masih digodok di Cimahi.
Tapi jelas, jika PSSI tidak mau mawas diri dan berniat memperbaikinya, banyak sponsor yang akan tercekik dan akhirnya enggan bekerjasama. Akibatnya tentu kita tahu, dunia sepakbola kita akan sepi dari pertarungan-pertarungan bertaraf internasional. Sayang ya?
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi nomer 14, Sabtu 2 Juni 1984)