Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
an Persib selalu tampil glamor dengan sederet pemain bintang. Nafsu belanja pemain kelas satu menjadi-jadi sejak PT Persib Bandung Bermartabat mengambil alih manajemen tiga musim silam.
Akan tetapi, gelar juara kompetisi kasta tertinggi tetap menjauh. Sejak menjuarai Liga Indonesia 1994/95, Maung Bandung belum pernah lagi menjadi nomor satu.
Musim ini, pengeluaran Persib untuk belanja pemain menembus angka Rp15 miliar. Sederet pemain top, seperti Firman Utina, M. Ridwan, Supardi, Kenji Adachihara, Herman Dzumafo, dan juga pemain naturalisasi asal Belanda, Sergio van Dijk, menjadi andalan kekuatan Persib.
Kehadiran mereka ternyata tak membuat Maung Bandung melesat di papan atas. Tim asuhan Djajang Nurjaman malah tertatih-tatih di zona bawah.
Apa yang salah di Persib? Bintang Persib era 1990-an, Yusuf Bachtiar, beropini bahwa dari musim ke musim pembentukan tim tidak sesuai konsep yang sudah ada di benak pelatih.
"Sebelum membentuk tim, pelatih harus memiliki konsep permainan mau seperti apa, setelah itu baru mencari pemain. Jadi tidak harus semua pemain bintang. Yang penting sesuai dengan konsep yang diinginkan oleh pelatih," kata Yusuf.
Apa yang dikatakan Yusuf ada benarnya. Tengok saja untuk kasus perekrutan Sergio yang atas kemauan manajemen. Djajang terlihat kebingungan memaksimalkan tenaga sang pemain. Ia harus mengorbankan salah satu bomber asing, Dzumafo dan Kenji.
Terlalu Dalam
Pilar Persib era 1980-an, Bambang Sukowiyono, berkomentar senada. Campur tangan terlalu dalam manajemen Persib ke area teknik membuat pelatih kesulitan berkreasi.
Manajemen kurang sabar terhadap pelatih. Mereka seringkali mendepak pelatih di tengah jalan yang membuat keseimbangan tim terganggu.
Tengok saja ancaman yang dilontarkan Manajer Umuh Muchtar selepas tur ke Papua-Kalimantan. Ia mengancam akan merombak skuad di tengah musim, jika Persib melempem. Hal ini mengganggu kenyamanan seluruh tim.