Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
up dalam perebutan Piala Dunia itu, tersisih oleh Spanyol karena produktivitas gol yang hampir-hampir mustahil. Belanda sudah merasa aman, tapi ternyata Spanyol bisa mengalahkan Malta dengan skor spektakuler 12-1, hingga tim negerinya Johan Cruyff itu tersingkir hanya karena "kurang produktif".
Tapi Belanda toh tidak sendirian. Italia, juara dunia 1934, 1936 dan 1982, juga tidak mendapat tempat di kejuaraan yang hanya memberi peluang pada delapan tim terbaik itu.
Masih di bawah pimpinan manajer Enzo Bearzot, dan masih hangat dengan kegemilangan sukses di kejuaraan dunia Spanyol, penampilan mereka menurun amat deras dalam babak penyisihan kejuaraan Eropa ini.
Mereka hanya mampu mencetak satu kemenangan, dan itu mereka lakukan atas Cyprus, negeri yang memang tidak pernah diperhitungkan. Dalam tujuh pertandingan lainnya, mereka tiga kali ditahan seri dan empat kali kalah dari Rumania (yang kemudian berangkat ke Prancis) 0-1, dari Swedia 0-2 dan 0-3, dan dari Cekoslowakia 0-2.
Nasib tragis juga dialami Inggris, juara dunia 1966 dan negeri tempat asal sepakbola. Dua kali gagal masuk putaran final kejuaraan dunia karena tidak bisa menang di kandang sendiri, dalam babak penyisihan kejuaraan Eropa ini pun mereka gagal karena dipermalukan lawan di Stadion Wembley. Dan Denmark, sang penakluk itu akhirnya meraih tiket ke Prancis.
Tanpa tiga negara yang sebenarnya amat patut mendapat tempat itu, apakah berarti kejuaraan Eropa kali ini kehilangan bobotnya? Tidak. Untuk mengukurnya mungkin bisa diambil saja pernyataan Cruyff yang diungkapkan dalam BOLA pekan lalu. Ia menyebut Prancis, Denmark, dan Belgia (bukan Polandia) sebagai favorit juara karena satu hal: gaya permainannya yang terus menyerang.
Lima peserta lainnya tentunya juga tak bisa sama sekali diremehkan. Juara bertahan Jerman Barat misalnya, masih tetap amat berbobot bahkan paling diunggulkan untuk jadi juara lagi di samping Prancis, meski tanpa Bernd Schuster, gelandang yang amat diandalkan oleh manajer Jupp Derwall.
Begitu pula Portugal yang kini bertekad memanfaatkan kejuaraan Eropa ini sebagai gelanggang untuk memutihkan reputasinya yang sempat cemerlang di zaman Eusebio. Rumania, Yugoslavia, dan Spanyol pun bukan tim sembarangan, meski memang belum pantas diunggulkan.
Jerbar sebagai juara bertahan dan Prancis sebagai tuan rumah, memperoleh kehormatan maju ke putaran final tanpa melewati babak penyisihan. Mereka malah sama-sama diunggulkan untuk memimpin grupnya masing-masing.
Di grup I Prancis berkumpul dengan Belgia, runner-up 1980, Denmark, dan Yugoslavia. Sedangkan di grup II Jerbar dikelompokkan dengan Portugal, Rumania, dan Spanyol.
Kejuaraan akan dibuka Selasa mendatang, pukul 20.30 waktu setempat atau dini hari di Indonesia, dengan menampilkan Prancis melawan Denmark. Pertandingan berlangsung di Stadion Parc des Princes, Paris, yang berkapasitas 90.000 penonton.
Dasar segala-galanya sudah diatur rapi dan pasti, penghasilan dari pertandingan pertama itu serta pertandingan Jerbar melawan Spanyol yang juga diadakan di situ, sudah bisa dihitung sejak sekarang. Yakni, kedua pertandingan akan menghasilkan 9.723.980 Franc atau sekitar Rp 1,2 milyar. Sedang dari pertandingan finalnya pada 27 Juni yang juga akan berlangsung di stadion itu, diharapkan duit masuk 5.207.050 Franc.
Penghasilan total, termasuk dari 12 pertandingan lainnya di enam stadion, diperhitungkan 45.853.010 Franc. Dari hasil bersihnya, 16% diberikan kepada kedua finalis, 13% untuk kedua semi finalis yang kalah dan 10,5% untuk perempatfinalis.
Tapi angka-angka itu tentu tak menarik buat sebagian besar publik sepakbola. Tentu lebih menarik dan menggoda untuk mempertanyakan siapa yang bakal tampil sebagai juara? Atau paling tidak, supaya jangan terlampau cepat, dua tim mana yang akan tampil di pertandingan akhir?
Prancis dijagokan oleh banyak orang paling tidak untuk menjadi salah satu finalis. Dan ini bukanlah semata-mata karena keuntungannya menjadi tuan rumah.
Pujian Cruyff bahwa Prancis termasuk tim yang disenanginya karena memiliki gaya permainan menyerang, bukan tanpa dasar kuat. Sejak kejuaraan dunia 1978, Prancis sudah menarik perhatian dunia, dan makin mengesankan ketika mereka tampil lagi dengan cemerlang dalam perebutan Piala Dunia 82.
Michel Platini, kapten kesebelasannya, mungkin merupakan gambaran yang pas untuk melukiskan gaya dan kekuatan Prancis: flamboyan, cerdik, tapi juga mampu bekerja keras sepanjang permainan. Platini membuktikan kemampuannya baru-baru ini dengan membawa Juventus sebagai juara Italia dan sekaligus meraih salah satu dari tiga piala antar klub Eropa, Cup Winners Cup.
Dengan di sampingnya terdapat seniman-seniman bola macam Tigana, Giresse dan Amoros, yang juga semakin matang, dapat dibayangkan akan lebih berbobotnya pula penampilan Prancis kelak.
Tapi Jerbar, meski tanpa Schuster, juga tetap merupakan kuda binal. Apalagi arena kali ini akan merupakan kesempatan istimewa bagi Rummenigge, alias Si Kapten Kalle, untuk membuktikan transfer raksasanya dari Bayern Muenchen ke Inter Milan.
Pertemuan Prancis di Jerbar dalam final kejuaraan empat tahunan itu karenanya bukan perhitungan asal-asalan. Meski tentu saja semuanya harus lebih waspada pada Denmark dan Belgia, dua negeri "kecil" yang hampir selalu ' membuat kejutan. Sepakbola, kita tahu, memang penuh dengan kejutan-kejutan.
(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi nomer 15, Jumat 8 Juni 1985)