Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
beranak dari Kediri itu datang ke klub PB Djarum Kudus untuk satu tujuan: sang putra ingin masuk lingkungan klub tersebut.
Dapatkah remaja ini diterima menjadi anggota? Dibutuhkan waktu seminggu untuk mendapat jawaban. Teguh Santoso, remaja berambisi tersebut, harus melalui tahapan cukup panjang dan berat untuk menerima jawaban pasti. Masuk dalam lingkungan PB Djarum berarti harus tunduk pada segala peraturan yang berlaku di sana.
Hanya ada satu jawaban dari pengurus bila seorang anak tidak lagi tunduk pada aturan yang berlaku: keluar! Urusan keluar amat mudah, tinggal angkat koper dan pergi. Jauh berbeda dengan usaha masuk menjadi anggota yang begitu sutit di mana hanya anak-anak yang betul-betul berbakatlah yang pantas lolos.
Menurut Ketua PB Djarum, Arisanto, pihaknya sengaja mengambil tindakan membatasi anggota. Dikatakannya, setiap pergantian tahun ajaran sekolah, klubnya selalu ramai dikunjungi orangtua yang membaur anaknya untuk bergabung. Tapi karena keterbatasan kapasitas penampungan, dan paling pokok karena adanya target pencapaian prestasi, tindakan demikian terpaksa dijalankan.
"Kita ingin mengambil langkah jelas, mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas. Kita ingin mendidik pemain berbakat, bukan pemassalan pemain," Arisanto menandaskan.
Biaya Ditanggung
Demikianlah nasib Teguh yang diantar ayahnya dari Kediri. Teguh harus membuktikan dulu kepada tim penilai yang dipimpin kepala pelatih, Agus Susanto (kakak ipar Liem Swie King), apakah ia berbakat hingga suatu waktu bisa tampil menggembirakan, atau hanya sekedar ingin. Waktu satu minggu pun merupakan acara padat baginya untuk mengikuti segala macam tes fisik, teknik, dan inteligensi.
Bila segalanya telah berhasil dilalui, seperti juga pemain-pemain terdahulu, maka segala keperluannya, mulai mengatur kepindahan sekolah, penginapan, dan makan, menjadi tanggung jawab klub.
Khusus menyangkut biaya sekolah, Arisanto membuat satu kriteria. Bagi anak yang orangtuanya dinilai mampu, biaya sekolah tetap menjadi tanggungan sendiri, tapi segala kemudahan lainnya menjadi beban klub seperti antar jemput sekolah, penampungan, dan makan. Pungutan uang dari anggota tidak ada.
Maka tidak heran, bila ternyata klub besar yang mampu mencetak pemain kaliber dunia itu ternyata hanya memiliki sedikit anggota. Anggota resmi sekarang yang ditampung di komplek olahraga desa Bacin, Kudus, yakni: 10 senior (18 tahun ke atas), 6 yunior (15-18), 9 remaja dan pemula (sampai 15 tahun).
Pemain senior dan andalan putra klub ini yang tinggal di Jakarta adalah: Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadiyanto, Christian Hadinata, Kartono, Heryanto, Hadibowo, dan Bpbby Ertanto.
Urusan biaya memang tidak ada masalah bagi klub ini. Dukungan finansial dari perusahaan kretek ini cukup meyakinkan. Kuatnya keuangan ini pula yang membuat pemain tetap setia bernaung di bawah bendera klubnya. Bahkan sebagian pemain, langsung diangkat menjadi karyawan, dan tentu saja dengan imbalan cukup tinggi.
Berapa seorang pemain dibayar untuk tetap mengenakan kaos bertuliskan nama klubnya, tidak diketahui secara pasti. Tapi sumber BOLA yang tidak mau disebut namanya menunjuk angka Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta setiap bulan, tergantung tingkat keterkenalan pemain itu sendiri.
Ketua Umum POR Djarum yang membawahi seluruh kegiatan olahraga di lingkungan perusahaan, Goei Poo Thay, tidak bersedia mengungkapkan masalah keuangan. "Bukan apa-apa, nanti malah dikira menonjolkan diri," kilahnya.
Tidak Membujuk
Di samping bulutangkis, di sana juga dibina cabang tenia meja, sepakbola, voli, bridge, catur, dan pencak silat. Goei menambahkan, yang benar-benar dibina serius baru bulutangkis, kemudian tenis meja. Kegiatan lainnya lebih merupakan sampingan.
Bulutangkis sendiri mengambil dua tempat pembinaan. Putra dibina di Kudus, putri di Semarang. Di antara beberapa nama yang sudah mulai menonjol hasil godokan mereka adalah Suli Lestari dan Kho Mei Hwa. Mereka malah sudah mengecap kehidupan Pelatnas.
Stok pemain lainnya adalah Handayani dan Tri Rahayu yang prestasinya mulai menapak naik. Tetapi bintang klub saat ini masih tetap Ivanna, pindahan dari klub Mutiara Bandung.
Ketika ditanya mengenai keluhan klub Mutiara dari Bandung yang menuduh PB Djarum tukang comot pemain klub lain, Goei dengan cekatan menangkis. "Saya tidak mengerti urusan seperti itu. Kita tidak pernah membujuk pemain agar masuk klub Djarum," ujarnya.
Christian, katanya, akan suruh membantahnya sendiri. Christianlah yang datang kepadanya dan minta agar diterima di Djarum guna mengembangkan karir sebagai pelatih. Christian mengatakan klub ini dinilai cocok sebagai wadahnya membina para pemain muda. "Sebelumnya saya tidak kenal Christian. Usulnya bagus dan saya terima. Apa saya salah?" ujarnya lebih lanjut.
Ketika didesak tentang kemungkinan kepindahan beberapa pemain yang sudah jadi karena rayuan uang, Goei sekali lagi memberi jawab, "Kalau uang yang jadi sebab, saya rasa bukan di Djarum tempatnya. Kalau Christian mengejar uang, perusahaan raksasa Astra tentu lebih mampu memberinya uang banyak. Tapi, ia seorang pemain, olahragawan yang ingin mengembangkan karir lebih baik. Saya rasa itu saja alasan Christian masuk klub Djarum. Jadi bukan karena uang."
Hari Tua
Betapapun gigihnya perusahaan ini mencetak pemain kelas satu dengan segala fasilitas, namun tidak dapat dipungkiri, beberapa pemain merasa kurang mendapat kesempatan mengembangkan karir. Mereka mengeluh latihan yang diberikan setiap hari menimbulkan rasa jenuh sebab kurang diimbangi dengan kesempatan bertanding.
Itu persoalan Djarum di satu pihak. Di pihak lain, jiwa muda yang penuh gejolak emosi, terkadang membuahkan tingkah macam-macam. Tapi untuk mereka ini, tidak ada pilihan lain, kecuali dikembalikan ke tempat asal. Seluruh biaya pengembalian ditanggung klub.
Menurut Arisanto, setiap tahun ada saja anggotanya yang terpaksa dikembalikan karena dinilai tidak mungkin lagi dapat dikembangkan. Tapi pemutusan hubungan ini sengaja diambil di saat pergantian tahun ajaran. "Agar tidak menyulitkan orangtuanya mengurusi kembali sekolah mereka," tambah Arisanto.
Beruntunglah para pemain yang pernah dilahirkan dari klub ini seperti Liem Swie King atau Hastomo Arbi. Begitu juga beberapa pemain dengan nama besar lainnya. Konon, bulan depan Djarum akan mendirikan perusahaan baru bekerjasama dengan perusahaan alat olahraga Kennex.
"Perusahaan ini dipersiapkan untuk hari tua para pemain. Mereka diberi kesempatan mengelolanya nanti," ujar Goei. Perusahaan patungan antara pihak Taiwan-Jepang dan Djarum ini kelak mengambil lokasi di bilangan Tanah Abang, Jakarta.
Selain itu juga sedang disiapkan suatu penampungan di daerah Petamburan, Jakarta. Semacam gedung tempat berlatih anggota senior yang tinggal di Jakarta.
Sport Centre
Gedung tempat berlatih ini menurut Goei sengaja diadakan sebagai langkah lanjut dari usulnya yang ditolak PB PBSI untuk menghilangkan Pelatnas jangka panjang. Sebab menurut Goei, Pelatnas jangka panjang tidak baik untuk pembibitan yunior. Seharusnya pemain dikembalikan ke klub.
"Sekarang lihat Eddy Hartono dan Chafidz Jusuf. Maju tidak selama ikut Pelatnas di Senayan?" tanyanya, kemudian dijawabnya sendiri. "Saya rasa tidak!"
Langkah maju lainnya kini sedang mendekati final: membangun sebuah sport centre di kecamatan Jati Kudus. Jadi, seluruh atlet klub dari semua cabang yang ada di Kudus akan dikumpulkan dan berlatih di sana.
Dalam waktu dekat, katanya Indonesia Terbuka akan diadakan di Jakarta. "Nah, beri kesempatan seluruh pemain untuk ambil bagian. Saya yakin anak-anak asuhan saya tidak akan memalukan!" kata Goei lebih lanjut.
PB Djarum yang mulai membimbing remaja main bulutangkis di gudang tempat menumpuk tembakau itu, kini semakin berkembang. Klub ini didirikan tahun 1968 dan terus membesar. Tahun 1980 klub ini mendirikan gedung khusus tempat berlatih. Di gedung inilah dibangun 6 lapangan yang cukup baik dan luas untuk jumlah anggotanya yang memang tak banyak.
Memang, tidak semua klub sama. Djarum menitikberatkan pembinaan dari segi kualitas, klub lain mungkin mengutamakan kuantitas, meski tak mengesampingkan kualitas. Yang jelas klub di gudang tembakau ini memang telah mencetak banyak juara, setidaknya calon juara.
(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi nomer 15, Jumat 8 Juni 1984)