Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sabtu 16 Juni ini Universitas Mataram di ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat itu mengadakan kegiatan olahraga yang nyaris tak dapat dipercaya: Lomba Renang Lintas Selat Lombok berjarak hampir 43 km atau tepatnya 42.950 meter.
Bayangkan, lintasan sejauh 43 km, di laut penuh ikan hiu dan barrakuda yang doyan memangsa daging itu akan direnangi sehari penuh. "Gila!" ucap seorang warga masyarakat Mataram yang mendengar pengumuman lomba tersebut.
Tetapi tentu panitia jadi goyah dengan suara seperti itu. Kapan lagi menyadari bahwa lautan sebenarnya bukan pemisah pulau-pulau yang jumlah ribuan di negara kita ini, tetapi justru pemersatu? Inilah makna yang terkandung dalam konsep Wawasan Nusantara. Begitulah kurang lebih alasan panitia.
"Lagipula, renang lintas selat ini pasti cocok untuk jiwa muda. Selain merupakan olahraga yang penuh tantangan dan petualangan, juga menumbuhkan cinta lingkungan," komentar Soetrisno, Ketua Perkumpulan Olahraga Selam Primus Surabaya.
Akan halnya risiko dan derajat bahaya yang mungkin dihadapi peserta, di darat pun katanya bahaya itu selalu ada. Balap atau reli mobil misalnya, tak lebih kecil bahayanya dari lomba lintas selat ini. Tetapi mengapa justru para pemuda-pemudi negara kita yang notabene negara maritim kurang keberanian menantang resiko di laut?
Bekal Lontong
Menurut rencana lomba fin swimming (renang dengan bantuan sirip) itu dimulai pukul 07.00 pagi dari pantai di desa Tanah Barak Seraya, Kabupaten Karang Asem, Bali, untuk berakhir di pantai desa Bugis, Ampenan, Lombok Barat, sekitar petang harinya. Pesertanya hanya empat dan khusus didatangkan, sehingga sifatnya memang invitasi. Mereka adalah Agus Widodo, mahasiswa Fakultas Ekonomi Unram dan Bambang Triantoro, Wahyu Winarto, serta Hendrik Wintarko dari Primus Surabaya.
Dalam menantang selat yang penuh ikan buas itu Agus Widodo tentu saja tidak merasa takut. Selain karena ia telah berpengalaman menyeberangi selat-selat Sunda, Bali, Madura, dan Selat Ketapang Probolinggo, juga karena persiapan telah dilakukannya dengan matang.
Tiga bulan sebelumnya, mahasiswa ekonomi Unram ini dengan tekun melatih kondisi fisiknya untuk suatu perjuangan di air asin dingin yang memeras tenaga sehari penuh itu. Setiap hari berlari sejauh 5 km disertai beban sabuk pemberat dan treksando yang ditarik-tarik sepanjang jalan.
Selama dalam periode berlatih itu ia hanya melahap lontong sebagai makanannya. Tetapi Agus yang juga anggota Primus tak memberi penjelasan lain kecuali pernyataan bahwa "metabolisme lebih sedikit memerlukan energi".
"Apakah si Dodid - panggilan akrab Agus Widodo - ini main-main atau sungguhan, yang jelas ia memang telah melatih tubuhnya selama tiga bulan itu untuk mampu mengkonsumsi energi cukup dari makanan yang ringan-ringan. Tak heran, karena kelak dalam mengarungi Selat Lombok selama 12 jam itu, ia akan terus-menerus berada di air, sementara makan juga ia perlukan.
Hingga saat ini, katanya, perenang selat itu tak mengalami kesulitan dalam melakukan persiapannya. Untuk itu Dodid memang selalu didampingi seorang penasihat yang disediakan klubnya. Juga pengalamannya mengarungi selat-selat lain serta pengalaman selama menggeluti olahraga selam di Balikpapan Diving Club sebelum ini, menjadi bekal yang meringankan beban kesulitannya.
Serbuk Anti Hiu
Tiga perahu bermotor rencananya disediakan untuk mengawal mereka. Perlengkapan yang diisyaratkan panitia untuk dibawa di perahu adalah dua buah teropong jarak jauh, dua buah megafon, dua set alat komunikasi dengan radius pancar 100 km, empat pelampung.
Itu baru perlengkapan yang dibawa di perahu. Untuk perenangnya sendiri, masing-masing harus mengenakan sepatu katak, masker, dan snorkle. Sebagai pelindung terhadap ikan buas seperti hiu martil, hiu macan, hiu karang, dan barrakuda, perenang juga harus memperlengkapi dirinya dengan sabuk berisi serbuk anti ikan buas.
Berdasarkan tabel arus pasang surut untuk kepulauan Indonesia tahun 1984 yang dikeluarkan Hidro Oceanografi TNI AL, maka kecepatan arus di Selat Lombok pada hari perlombaan diperkirakan berkisar antara 4-7 knot. Sedangkan perhitungan pasang naik dan pasang surut berkisar dari 18 hingga turun menjadi 1.
Agar Agus Widodo dan kawan-kawannya tiba ke tujuan di pantai Lombok dengan selamat, perhitungan teknis mengharuskan dia untuk start dengan mengambil sudut arah 67 derajat. Lintasan selanjutnya diarungi selama 2 jam atau sejarak 8 km ke arah utara dalam sudut ini. Baru setelah itu para perenang mengarahkan lintasannya lurus menuju pantai Ampenan, Lombok.
Dalam renang lintas selat ini, tak kurang pula satu tim SAR, satu tim kesehatan, tim komunikasi, dan logistik akan mengawal para perenang. Sedikitnya, biaya sebesar Rp 900 ribu telah pula dikeluarkan dari kocek para penyumbang dan perenang sendiri.
Tinggal sekarang orang ingin menyaksikan, apakah Agus dan kawan-kawan mampu membuktikan bahwa mereka memang seberani para perenang negeri Margaret Thatcher yang menaklukkan Selat Inggris?
(Penulis: Supriyanto Khafid, Tabloid BOLA edisi no. 16, Jumat 15 Juni 1984)