Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
kadang memang lebih tangkas dan kena untuk menyampaikan kesan tertentu.Cobalah ikuti apa yang dikatakan kolumnis kenamaan Alan Hubbard dalam The Straits Times mengenai akhir pertandingan final tunggal pria turnamen tenis Prancis Terbuka minggu lalu."He not only lost his serve, but his nerve, and in the end he beat himself", ia tidak hanya kehilangan servisnya, tapi juga nyalinya, dan akhirnya ia menaklukkan dirinya sendiri.
Inilah memang akhir yang tragis dari petenis nomor wahid dunia dari Amerika Serikat, si kidal nakal John McEnroe. Ia merebut dua set pertama dengan gemilang, 6-3, 6-2. Tapi pada tiga set berikutnya ia gagal menguasai temperamennya, kehilangan kontrol permainan, dan menyerah pada pemain berdarah dingin dari Cekoslowakia Ivan Lendl. 4-6 , 5-7, 5-7.
Dan berakhirlah persaingan dua minggu yang berharga 130.000 dollar atau sekitar Rp 130 juta bagi sang pemenang. McEnroe yang hanya meraih hadiah separuhnya, masih pula harus dikurangi dengan denda 3.600 dollar untuk tingkah lakunya yang centang perenang termasuk permusuhannya terhadap para juru foto.
Dan bukan hanya itu, inilah lanjutan kegagalan petenis pria AS di lapangan tanah liat Roland Garros. Kekalahan McEnroe membentangkan kisah kegagalan itu menjadi 29 tahun, dihitung dari keberhasilan terakhir Tony Trabert mempertahankan gelarnya di sana pada tahun 1955.
Bagi Lendl ini memang merupakan sukses besar, meski gelar juara sudah amat sering direbutnya. Sebab di Roland Garros inilah ia untuk pertama kalinya memenangkan salah satu turnamen Grand Slam, setelah mendapat julukan "The Champion Loser" karena terus menerus jadi runner-up dalam empat turnamen besar sebelumnya.
Lapangan tanah liat memang seperti jadi langganan bagi pemain Eropa. Bjorn Borg misalnya, enam kali juara di sini. Dan bersama Lendl, dia merupakan lambang ketenangan dan kematangan mental - faktor-faktor yang dibutuhkan untuk menaklukkan lapangan tanah liat.
Tak seperti McEnroe, Lendl memang lebih bisa menguasai situasi dan dirinya sendiri, seperti ditunjukkan dengan kegemilangannya bertahan dan bahkan unggul dalam tiga set terakhir.
Di samping bakat, kerja keras, dan keberuntungan, menurut Lendl, memang masih ada satu faktor terpenting untuk sukses. "Kemampuan untuk tetap tenang dan tidak kehilangan kepala," ujarnya.
Itu memang ditunjukkannya pada set ketiga, ketika skor 2-2 dan McEnroe memegang servis dengan keunggulan 40-0. Game kelima di set itu ternyata kemudian jadi milik Lendl yang seterusnya memimpin dan menang. '
Suka tidak suka, kemenangan Lendl ini juga merupakan pesta buat Cekoslowakia. Sebab sehari sebelumnya, Martina Navratilova yang lahir dan dibesarkan di Ceko, merebut gelar yang sama di bagian wanita dengan menghumbalangkan rekan senegaranya kini, Chris Evert Lloyd, 6-3, 6-1.
Martina bahkan tak sekadar juara Prancis Terbuka yang kedua dalam karirnya, tapi juga Grand Slam dengan bonus Rp 1 milyar, setelah rangkaian suksesnya di Wimbledon, Flushing Meadow, dan Melbourne.
Memang, ada yang enggan mengakuinya karena Grand Slam itu direbutnya tidak dalam tahun yang sama - seperti Margaret Court dan Maureen Connolly sebelumnya. Tapi siapa tak mengakui bahwa Martina memang hebat?
(Penulis: Sumohadi Marsis - Tabloid BOLA edisi no. 16, Jumat 15 Juni 1984)