Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Selain dari manajer tim Alimuddin Nasution, pengurus PSSI dalam kepemimpinan Maladi juga menerima laporan mengenai penampilan kesebelasan Indonesia dalam Olimpiade 1956 di Melbourne dari pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacnik.
Laporan itu nampaknya diketik sendiri. Rapat dan di sana-sini terdapat beberapa kesalahan kecil, dalam bahasa Inggris. Kendati demikian, ini merupakan laporan yang bagus dari seorang pelatih - kemampuan yang masih lemah dalam persepakbolaan kita.
Berikut ini ringkasan laporan itu. Mudah-mudahan bisa dipetik manfaatnya tidak saja oleh para pelatih, tapi juga unsur-unsur persepakbolaan kita lainnya.
Sekembali dari perlawatan ke Eropa, diputuskan untuk mengistirahatkan para pemain sampai dipanggil kembali untuk pelatnas berikutnya, 21 Oktober.
Tapi karena Lie Kian An harus dicopot sedangkan jumlah pemain harus mencapai 20 orang, diputuskan untuk memanggil delapan pemain tambahan masuk pelatnas lebih cepat. Mereka adalah Marjoso, Kasmuri, Subakto, Arijin, Tukiran, Hamdani, Jusron, dan Willy Paulus. Dari mereka hanya akan dipilih tiga pemain.
Untuk menguji kemampuan mereka sebelum pemilihan ditentukan, diadakan uji coba melawan klub Djakarta Putra di lapangan milik UMS. Untuk itu, kedelapan pemain tersebut diperkuat dengan lima pemain lama, yaitu Paidjo, Chairuddin, Rukma, Sidhi, dan Ade.
Dalam uji - coba itu, 19 Oktober, para pemain tidak menunjukkan kerjasama tim yang baik. Tapi dari segi permainan individu, mereka umumnya mampu menampilkan ketrampilannya. Tiga dari delapan pemain yang kemudian terpilih: Kasmuri, Arifin, Jusron.
Dengan demikian 20 pemain untuk tim Olimpiade adalah: Saelan, Paidjo (kiper), Chairuddin Siregar, Rasjid, Thio Him Tjiang, Rukma, Ramlan, Kwee Kiat Sek, Sidhi, Tan Liong Houw, Kasmuri, Aang Witarsa, Ade, Phua Sian Liong, Arifin, Ramang, Danu, Djamiat Dhalhar, Ramli, Jusron.
Persija Muda
Pelatnas dimutai 21 Oktober dengan dua sasaran pokok. Pertama, mengembalikan stamina para pemain ke tingkat seperti menjelang dan selama perlawatan ke Eropa. Kedua, membina kerjasama tim dalam permainan menyerang.
Permainan menyerang ini dimaksudkan untuk menghadapi lawan yang kekuatannya diperkirakan seimbang atau sedikit lebih kuat. Untuk penyegaran dan variasi, diberikan juga latihan untuk meningkatkan penguasaan bola (ball technic) - dalam pergerakan.
Dalam persiapan ini dilakukan dua pertandingan uji coba: melawan Persija Muda dan AURI. Dalam pertandingan pertama, sasaran tidak tercapai karena para pemain luar biasa malasnya (incredible indolent). Tapi pada pertandingan kedua kesannya sudah baik, mutu meningkat bagus.
Dalam pelajaran teori, memang selalu saya coba jelaskan kepada para pemain bahwa yang paling penting bukanlah skor pertandingan uji coba itu, melainkan bagaimana cara kita menundukkan lawan, memotong serangan mereka, menguasai bola, dan bagaimana saling membantu antar pemain, membuka ruang, membebaskan seorang pemain - dan menyempurnakan gerak penyelesaian.
Pada malam setelah uji coba pertama yang lesu itu, saya berdiskusi lama dengan para pemain. Saya jelaskan apa tujuan dan alasan memainkan pertandingan seperti itu, dan juga bagaimana posisi para pemain itu dalam persepakbolaan Indonesia. Saya tekankan betul pentingnya kerjasama antara para pemain dan saya selama latihan, teori maupun pertandingan. Saya jelaskan pula, bahwa kelemahan kerjasama tak akan membawa tim kepada sukses.
Dua Macam Lawan
Sesudah kedua uji coba itu para pemain meninggalkan pelatnas untuk berkumpul lagi di Jakarta 9 November. Tapi beberapa pemain tidak datang pada waktunya. Juga ada kesulitan lapangan, hingga pelatnas terakhir baru bisa dimulai lagi 11 November, lima hari sebelum uji coba melawan tim Olimpiade Amerika Serikat.
Dalam pelatnas terakhir ini tekanan latihan masih tetap seperti dulu, yakni permainan menyerang untuk menghadapi lawan yang seimbang. Tapi kemudian, setelah mempelajari kekuatan negara-negara yang akan mengikuti Olimpiade, diperoleh kesimpulan untuk membagi lawan-lawan itu dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah mereka yang kita anggap lebih kuat: Uni Soviet, Bulgaria, dan Yugoslavia. Kelompok kedua adalah mereka yang kekuatannya dianggap seimbang, yaitu semua tim lain.
Sudah diatur pula, untuk mematangkan pola permainan menyerang tadi, latihan diadakan di Jakarta, sedangkan untuk menjelaskan bagaimana menghadapi tim-tim yang lebih kuat akan diadakan di Melbourne. Menurut hemat saya, penampilan para pemain di Jakarta dan Melbourne membuktikan bahwa pekerjaan kami betul.
Tim Olimpiade AS yang menjadi lawan kami sebelum bertolak ke Melbourne, kami anggap memiliki kekuatan yang seimbang. Karena itu kami harus menghadapinya dengan permainan terbuka.
Dalam latihan diusahakan para pemain memahami hakekat membantu teman dan membuka ruang, dan dengan cara demikian berusaha memperkuat pertahanan. Tapi juga dengan kesiapan dari lapangan tengah untuk melancarkan serangan balik.
Skor pertandingan melawan tim AS itu luar biasa: 7-5. Tapi memang, gerakan kami selalu dimulai dari belakang, dan kadang-kadang dengan gerakan yang amat bagus mereka menaklukkan lawan di lapangan tengah - dan menyiapkan banyak situasi bagus di depan gawang lawan. Hanya Him Tjiang yang agak kurang konsentrasi, hingga kami kebobolan gol-gol yang tak perlu dengan demikian mudah.
Pada pokoknya, pertandingan melawan tim AS itu membuktikan bahwa kami telah berhasil mencapai malah meningkatkan stamina para pemain, juga bahwa cara penugasan dan penggerakan pemain selama latihan membuahkan hasil yang baik. Dan tanpa melihat skor pertandingan, saya pikir kami ada dalam langkah bagus. Pemain memahami pentingnya bermain dalam gerakan. Secara psikologis, melewati skor besar itu, pemain juga lebih yakin akan kemampuannya.
Berangkat
Kami berangkat ke Melbourne 17 November, dan tiba esok sorenya. Latihan pertama dilakukan sehari kemudian di lapangan dalam perkampungan atlet. Latihan-latihan selanjutnya diadakah di beberapa lapangan.
Tanggal 22 November seluruh anggota tim mengikuti upacara pembukaan, dan tiga hari kemudian menikmati tamasya, piknik, seharian dengan para anggota lembaga Indonesia-Australia.
Bagian pertama latihan adalah mengulangi latihan yang telah dijalankan di Jakarta. Tapi setelah mengetahui calon lawan pertama kami, Uni Soviet, penjelasan mengenai teori dan praktek atas taktik yang akan diterapkan nanti, makin ditingkatkan. Kami diskusikan pula pertandingan Uni Soviet melawan Jerman.
Dalam latihan sebelum pertandingan melawan Soviet, semua pemain cadangan - 9 orang - bermain sebagai penyerang. Kadang-kadang latihan dihentikan untuk menerangkan kesalahan posisi maupun kontrol.
Dengan cara demikian kami berhasil membawa kepada pemain, gambaran yang jelas mengenai kesulitan yang akan dihadapi lawan karena akan menghadapi barisan pertahanan dengan 7 pemain dan seorang kiper.
Memberikan dorongan psikologis kepada pemain juga tidak sulit. Kami terus menerus menjelaskan: nothing to loose. Tidak ada yang dipertaruhkan. Jangan takut kalah. Dan jika semua pemain betul-betul memenuhi tugasnya, kita akan berhasil.
Untuk menghindarkan kesan bahwa kami hanya berusaha untuk bertahan, kami menempatkan tiga pemain yang secara terus-menerus berada di barisan depan - dengan tugas mencoba penerobosan melalui pergerakan terus-menerus dan pertukaran tempat.
Achilles
Dalam kedua pertandingan pertama dan ulangang, barisan pertahanan merupakan dua lapisan yang masing-masing terdiri atas tiga pemain. Di depannya lagi terdapat seorang pemain, Ramlan, yang tugasnya menjadi penyerang pertama bagi setiap lawan. Di depan Ramlan terdapat tiga pemain penyerang dengan tugas seperti disebutkan di atas.
Pertandingan pertama (29 November) berkembang secara dramatis. Bermain sesuai instruksi dengan formasi 3-3-l-3, dan melawan angin, mereka berhasil mempertahankan strategi.
Untuk babak kedua dalam posisi bersama angin saya bermaksud menempatkan Sian Liong agar lebih menyerang dan sebaliknya Ramlan lebih bertahan. Dengan perubahan ini saya berharap Sian Liong akan dapat beraksi dari belakang, untuk kemudian menembak, dan mungkin menentukan pertandingan. Tapi tendangan ke urat Achiles Sian Liong membuat niat saya itu tak mungkin dijalankan.
Pertandingan memang semakin keras, apalagi menjelang usai dan selama perpanjangan waktu. Terbukti, setelah pertandingan selesai, terdapat lima pemain yang cedera karena tendangan berat lawan. Mereka adalah Danu, Saelan, Sian Liong, Kiat Sek, dan Him Tjiang.
Danu lebih parah. Dadanya juga kena tendang, dan nafasnya pun hampir habis. Karena itu ia tidak mungkin bisa dipasang untuk pertandingan kedua tanpa membahayakan jiwanya. Lantaran waktu istirahat hanya 40 jam. Cedera Sian Liong pun tak memungkinkannya untuk tetap dipasang.
Karena selama pertandingan berlangsung tidak boleh ada penggantian pemain, maka kami tetapkan Sian Liong juga tidak dipasang. Tapi Kiat Sek dan Him Tjiang sudah cukup pulih untuk bermain lagi.
Dalam pertandingan kedua, kami menempatkan lebih banyak pemain di barisan depan untuk bergantian menembak dengan salah satu datang dari belakang. Tapi tenaga para pemain sudah terkuras habis, apalagi tidak terbiasa dengan permainan keras, hingga tidak mungkin berhasil. Memang, pertandingan kadang-kadang menjadi amat kotor (very dirty), satu hal yang tidak biasa bagi para pemain kita.
Sebagai ilustrasi saja: lawan melakukan tendangan penjuru dari sayap kiri, penyerang tengah Soviet, Strelzov, menubruk Rasjid, dan Salnikov, gelandang kirinya, mendorong Saelan dengan kedua tangannya untuk kemudian menyundul bola masuk.
Dan kendati pun lawan bermain demikian, para pemain kita berhasil menyelesaikan pertandingan. Mereka kalah, tapi tidak menyerah.
(Penulis: Tony Pogacnik, Tabloid BOLA edisi no. 23, Jumat 3 Agustus 1984)