Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Mutu Galatama Menurun, Kenapa?

By Caesar Sardi - Selasa, 19 Maret 2013 | 12:00 WIB
Bambang Nurdiansyah (17), top scorer Galatama 83-84, terlalu lincah buat pendatang baru Galatama dari Denpasar, Bali Yudha. (Dok. Tabloid BOLA)

klub teras yang tampil tidak stabil - dengan mutu yang kurang baik. Rasa tidak puas cukup banyak menyeruak di antara penonton yang pula kian menyusut.

Maka tak heran kalau ada sementara orang yang dengan ekstrim menyentakkan pendapatnya: "Masa depan Galatama suram!". Tapi apakah benar demikian? Ini pertanyaan yang sulit untuk mendapatkan jawabannya dengan cepat dan jelas.

Menurut pelatih paling kawakan, dokter Endang Witarsa, mutu kompetisi saat ini memang menurun. "Tapi itu bukan berarti masa depan Galatama akan suram!" katanya dengan tegas. Demikian pula ungkapan yang meluncur dari bibir pelatih UMS 80, Sartono serta bekas bintang nasional 1970-an yang saatini menangani Yanita Utama, Abdul Kadir.

Ketiganya sependapat mengatakan mutu menurun hanya akibat terlalu rapatnya roda kompetisi yang berjalan saat ini. Sebagai misal, ketiganya dalam tempat terpisah melukiskan betapa dalam sepuluh hari ada klub yang harus bermain empat kali.

"Repotnya, harus bermain di banyak kota. Padahal perjalanan dari satu kota ke kota lainnya, jelas menguras tenaga dan perhatian. Apalagi kalau harus bersafari dari Sumatera, Jawa, Bali, dan Ujungpandang," ujar pelatih dari kubu Semen Padang.

Kurang Efektif

Endang Witarsa menambahkan, sistem yang berputar saat ini sebenarnya kurang efektif. "Idealnya setiap klub hanya bermain satu kali dalam seminggu," katanya. Kemudian bekas pelatih yang pernah sukses membawa panji PSSI di tahun I960-an itu menjabarkan proses yang membuat mutu jadi rontok.

Sebagai misal pelatih Warna Agung itu mengisahkan kemampuan para pemainnya. "Anak-anak belum kuat. Sekali mereka tampil bagus, lain kali anjlog. Ini tidak lain karena fisik mereka tak sanggup bermaraton seperti demikian. Padahal untuk bermain sepakbola, faktor fisik merupakan syarat mutlak. Tanpa fisik yang bagus, omong kosong teknik akan muncul," kilahnya.

Dengan jadwal terlalu ketat seperti sekarang, kondisi fisik selalu tidak prima dalam pertarungan. "Jadi jelaslah mutu yang kita tuntut itu tak pernah muncul," sambung Endang Witarsa.

Hal ini juga jadi pendapat Sartono. "Dalam waktu dua atau tiga hari, mana mungkin pemain bisa pulih. Seorang pemain yang cedera sedikit saja, dalam pertarungan berikutnya, pasti tidak bisa tampil prima," tukas bekas pelatih Tunas Inti ini.

Begitu juga yang diucapkan Abdul Kadir. "Sulit untuk selalu tampil dalam kondisi terbaik. Pemulihan mental yang relatif sesingkat itu seperti mustahil," sergah bekas sayap kiri nasional yang sering dijuluki Si Kancil ini.

Pematangan

Namun untuk sepakat dengan beberapa tokoh tentang suramnya masa depan Galatama, ketiganya punya pendapat berbeda. Ketiganya melukiskan banyak hal dasar pembinaan, yang justru saat ini ada dan bertabur di dalam roda kompetisi.

"Saya yakin dalam dua tahun mendatang, mutu itu akan mencuat. Pengalaman dan ketahanan serta ketangguhan para pemain bisa jauh lebih baik dari sekarang. Kalau hal tersebut sudah terpenuhi kita tinggal memetik hasilnya. Jadi di mana unsur suramnya itu?" kata Endang Witarsa setengah bertanya.

Kadir juga yakin. "Kebiasaan yang ketat dan menguras tenaga ini adalah pelajaran paling baik untuk memetik hasil terbagus di masa datang. Saya sama sekali tidak melihat gejala suram itu. Asal saja faktor-faktor non teknis tidak juga ikut berperan, kita cukup punya harapan untuk memetik hasil bagus itu nanti," ujar Kadir.

Sedangkan bagi Sartono, hasil terbaik hanya akan dipetik lewat kebiasaan dan pematangan yang ketat. "Tetapi apakah dalam dua tahun ini hasil terbaik itu sudah bisa kita petik, saya sendiri tidak berani menjamin. Tetapi yang pasti memang kelak akan kita dapatkan apa yang kita impikan itu," tukasnya.

Dengan jalan yang diungkapkan tiga pelatih ini cukup beralasan untuk orang tidak khawatir terhadap masa depan Galatama. Ketiganya mengakui pematangan pemain dan suasana akan tercipta lewat jumlah pertarungan yang banyak.

Tahun Depan

Tetapi dengan perasaan penuh harap, ketiganya mengharapkan kelak roda kompetisi sedikit diperbaiki. Harapan ketiganya, kompetisi Galatama berjalan dengan roda paling ideal satu minggu sekali.

"Di Belanda yang saya tahu, kompetisi hanya berjalan satu kali satu minggu untuk setiap klub. Hanya klub-klub top yang bisa main dua kali. Tapi itu juga satu dalam kompetisi Liga, satunya lagi kompetisi Eropa," tutur Endang Witarsa.

Kalau kelak berjalan satu minggu sekali, Sartono yakin mutu itu bisa tampil cukup baik. "Paling tidak kondisi fisik dan penyesuaian bisa terjalin dengan apik. Saat seperti itulah yang kita harapkan untuk membuat penampilan dengan mutu terbaik," ujar Sartono.

(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 28, Sabtu 8 September 1984)