Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sejak bekas kiper terbaik Indonesia, Ronny Pasla dari Indonesia Muda mengundurkan diri dan Sudarno menanggalkan kostum Tunas Inti mulai musim kompetisi kali ini, jadilah Johny Kamban penjaga gawang tertua. Ia masih tetap tampil di bawah gawang Makassar Utama, klub milik pengusaha muda Jusuf Kalla yang ditangani pelatih Ilyas Hadadde.
Lahir di Tanah Toraja, 15 September 1953, Johny masih tetap cekatan untuk menjaga gawangnya dari gempuran penyergap-penyergap lawan. Ini dibuktikan paling tidak dalam dua kompetisi terakhir. Gawangnya paling sedikit kemasukan.
Untuk musim kompetisi kali ini, Johny juga masih tetap memegang rekor paling sedikit kebobolan. Dari lima pertarungan awal Makassar Utama, ia baru kemasukan tiga gol. Satu jumlah yang boleh dipujikan, masih kurang diimbangi dengan gencarnya barisan depan rekan-rekannya.
Kendati hebat demikian, Johny belum pernah menyandang gelar sebagai pemain nasional. "Saya hanya sekali mempunyai kesempatan, ketika dipanggil Fred Korber untuk seleksi PSSI Hijau. Tetapi saya tidak terpilih," katanya dengan suara perlahan.
Tetapi untuk membela bendera Sulawesi Selatan khususnya Ujungpandang, nama Johny sudah amal lekat. Sejak ia bergabung di PSM Makassar tahun 1974, namanya menjadi jaminan mutu. Andil besarnya terbukti ketika PSM menjuarai turnamen Piala Soeharto tahun 1979. Dalam tahun itu juga ia menyumbangkan tenaganya bagi PSM untuk merebut Piala Tugu Muda di Semarang.
Secara keseluruhan, Johny memang pantas untuk diperhitungkan oleh para penyerang lawan. Tetapi nasib memang menentukannya hanya berjaya di Makassar Utama dan PSM. Padahal ia sering bermimpi untuk juga bisa membela nama baik bangsa. "Yah, mungkin nasib saya sudah begini," ujarnya setengah pasrah.
Kiper yang tingginya hanya 171 cm ini ingin berhenti main bola jika memang sudah tidak dibutuhkan. "Yah, sampai Makassar Utama memecat saya," katanya dengan tegas. Untuk hijrah ke klub lain, ia mengaku tak sedikit pun ada rasa itu di benaknya.
"Saya terlalu cinta tanah Sulsel," kilahnya. Selain itu ia juga tak ingin mengajak tiga anaknya untuk hijrah dari satu kota ke kota lain hanya untuk bermain sepakbola. "Saya sudah menemukan ketentraman di klub ini," sambung Johny.
Johny yang menikah dengan gadis idamannya Naomi tahun 1977, mengawaii karirnya dalam sepakbola tahun 1974 di klub Sparta. Setahun kemudian ia pindah ke klub Beringin Putra. Kepindahannya ke klub tersebut karena mengikuti pelatih, Ilyas Hadadde.
"Pak Ilyas yang menjadikan saya pemain. Jadi tidak salah kalau saya juga memberikan apa yang saya miliki di lapangan untuk Pak Ilyas. Paling tidak sebagai ucapan terimakasih," tutur karyawan Dipenda Tingkat I Ujungpandang ini.
Maka tanpa berpikir dua kali, ketika Ilyas Hadadde meneken kontrak untuk melatih Makassar Utama tahun 1979 akhir, Johny pun langsung bersedia menjadi benteng terakhir klub milik Jusuf Kalla itu.
Menurut Johny, kompetisi Galatama kali ini memang cukup berat. Ia tidak hanya melihat dari sisi fisik untuk bertarung, tetapi juga secara psikologis, dari sudut keluarga. "Coba bayangkan, saya sekarang harus meninggalkan keluarga cukup lama," katanya.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 28, Sabtu 8 September 1984)