Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Tiada Hari Tanpa Prestasi?

By Caesar Sardi - Rabu, 20 Maret 2013 | 07:00 WIB
Pertunjukan senam kesegaran jasmani pada perayaan setahun Hari Olahraga Nasional di Stadion Utama Senayan, Minggu lalu. Di latar belakang, gambar Presiden Soeharto bermain tenis dengan dukungan semangat Ibu Tien, memberi warna olahraga lebih tegas. (Dok. Tabloid BOLA)

dan bergaung hebat dalam kehidupan masyarakat, hampir ke semua lapisannya.

Presiden Soeharto sendiri, pencetus dan pelempar panji itu, dalam perayaan setahun Hari Olahraga Nasional di Stadion Utama Senayan 9 September lalu mengatakan: "Saya merasa berbahagia karena seruan saya itu mendapat sambutan luas. Dimana-mana, dengan caranya sendiri-sendiri, sekarang terlihat kegairahan masyarakat dalam berolahraga. Ini merupakan perkembangan garis awal yang sangat penting."

Tapi yang lebih penting disimak adalah bagian pidato Presiden berikutnya. "Langkah kita selanjutnya adalah meningkatkan prestasi. Dalam zaman moderen sekarang ini olahraga telah berkembang menjadi salah satu kebanggaan nasional. Tidak jarang kita merasakan betapa dalam pertandingan internasional yang diikuti oleh regu kita, seluruh hati dan perasaan kita, seluruh kecemasan dan harapan kita, ikut bersama-sama dalam pertandingan itu," kata kepala negara.

Bisakah ini diartikan bahwa kelak, atau malah sekarang juga, slogan Tiada Hari Tanpa Olahraga diseiringkan dengan semboyan Tiada Hari Tanpa Prestasi?

Rasanya memang slogan baru itu tidak perlu, ditunda pembuktiannya dalam karya. Sekarang, sembari terus menggalakkan pemasyarakatan olahraga, para atlet sendiri sudah harus memikirkan dan memperhitungkan pencapaian prestasi yang lebih tinggi. Makin hari makin baik. Tidak sebaliknya, atau datar saja.

Karena itu sayang prestasi Purnomo yang begitu gemilang sejak tampil di Olimpiade Los Angeles tidak menjalar sama panasnya dalam kejuaraan nasional atletik di Senayan yang kebetulan pembukaannya diresmikan oleh Presiden, sehari sebelumnya.

Tentu ada nilai strategis yang bisa ditarik dari pentingnya penggalakan peningkatan prestasi itu. Sebab dalam Asian Games X di Seoul dua tahun mendatang target kita adalah naik setingkat dari urutan ke-6. Dan dua tahun kemudian target itu berupa peraihan medali dalam Olimpiade 1988, juga di Seoul.

Malah menurut M.F. Siregar, Asisten Menpora, target yang sudah disusun sebenarnya malah mencakup periode dalam sepuluh tahun mendatang. Yakni merebut tempat ketiga di Asian Games XI 1990 dan medali lebih banyak dalam Olimpiade 1994, di saat mana Indonesia sudah bisa memproklamasikan dirinya sebagai Bangsa Berolahraga!

Tentu pula tekad untuk terus-menerus meningkatkan prestasi ini bukan tanpa resiko dan konsekuensi. Di satu pihak seleksi penentuan atlet atau tim untuk diterjunkan ke arena internasional harus lebih ketat. Di pihak lain pemerintah pun harus lebih siap dengan sarana dan prasarananya.

Syukurlah Menpora memang sudah menyiapkan konsepnya. Sebab prestasi olahraga, seperti dikatakan Presiden juga, merupakan bagian dari usaha kita untuk terus-menerus membina, menumbuhkan, dan mengembangkan semangat kebangsaan.

"Dalam arti itulah peranan olahraga bertambah penting, dalam usaha kita bersama untuk melanjutkan, meningkatkan, dan memperluas pembangunan dalam tahun-tahun yang akan datang," kata Presiden Soeharto.

(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 29, Jumat 14 September 1984)