Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Penghargaan Atlet: Setiap Permulaan Memang Begitu

By Caesar Sardi - Kamis, 21 Maret 2013 | 15:00 WIB
Verawaty Fajrin, juara dunia, medali kelas dua. (Dok. Tabloid BOLA)

Pagi itu, Ivanna Lie tampak lebih manis. Bibirnya diolesi gincu tipis. Sorot matanya memancarkan perasaan gembira. Betapa tidak, sebentar lagi ia akan mendapat penghargaan secara resmi dari pemerintah untuk prestasi bulutangkisnya.

Perasaan serupa dialami Elly Amalia, gadis garang di atas tatami tapi pemalu di luar arena itu. Ia tampak anggun, mengenakan kebaya merah tua dengan rambut bersanggul rapi. Jauh dari gambaran seorang pejudo hebat di kawasan Asia Tenggara.

Hari itu puluhan atlet terbaik nasional berbaur di aula KONI Pusat untuk menerima medali penghargaan dari pemerintah yang disampaikan Menpora Abdul Gafur. Penghargaan dibagi dalam tiga kelas, sesuai tingkat prestasinya.

Suasana ramai dan meriah, yang cenderung semrawut terasa mendekap ruang. Tampak panitia belum siap betul. Terbukti penyerahan Piagam Penghargaan yang dilakukan Menpora kepada atlet terpaksa main comot mengakibatkan timbulnya ketidakcocokan antara nama dan cabang olahraganya.

Sampai piagam yang sudah diberikan, dikumpulkan lagi untuk dibubuhi dulu tandatangan Menpora. Ini baru bagian kecil dari keteledoran panitia. Yang lebih parah, beberapa atlet yang sepantasnya mendapat penghargaan, tidak tercantum dalam daftar 241 orang yang berhak menerimanya. Atau kelasnya tak sesuai. Sebaliknya, ada juga yang mestinya tak berhak tapi menerimanya.

Dalam daftar yang diedarkan panitia, petinju Syamsul Anwar hanya berhak mendapat medali kelas tiga, yakni untuk prestasi tingkat Asia Tenggara. Beberapa menit menjelang acara dimulai Syamsul mendatangi Drs. Aziz Paradi, salah seorang anggota panitia, dan mengatakaa ia pernah juara Asia. Ternyata usaha Syamsul berhasil. Tanpa banyak komentar, langsung saja Syamsul dikalungi medali kelas dua - hadiah buat juara tingkat Asia atau yang sederajat.

Masih Diproses

Ketika ditanya tentang kriteria pemberian penghargaan dari pemerintah itu Aziz Paradi hanya melontarkan garis besarnya. Juara tingkat dunia katanya, untuk medali kelas satu, juara Asia untuk medali kelas dua, dan juara Asia Tenggara untuk medali kelas tiga.

Dalam jumpa pers sehari sebelumnya Menpora mengatakan, pemberian penghargaan pemerintah itu memang masih banyak kekurangannya. Meski demikian diharapkan hal begini tidak akan terulang lagi di tahun-tahun mendatang.

Diakuinya pula, untuk saat ini, pemerintah belum menyediakan santunan bagi pemegang medali penghargaan tersebut, walau diakui masih terus diproses.

Kekurangan-kekurangan yang dikhawatirkan Menpora ternyata memang menimpa beberapa cabang olahraga yang luput dari perhatian. Misalnya, regu bola voli putra yang meraih medali emas SEA Games 81 Manila dan putrinya yang meraih medali emas SEA Games 83 di Singapura. Demikian juga tim ski air yang mempersembahkan 6 medali emas dari SEA Games Singapura. Juga Eddy Sulistianto, satu-satunya peraih medali emas dari cabang layar SEA Games 83.

Kesalahan mungkin disebabkan kurangnya komunikasi yang baik dengan cabang olahraga bersangkutan. Kalau mau menyebutkan, keteledoran lainnya pun masih cukup banyak. Di cabang tinju saja misalnya, Johnny Asadoma dan Jonas Giay, peraih medali emas SEA Games 83 juga tidak masuk daftar.

Bukan itu saja, di cabang bulutangkis ternyata terjadi juga kesemrawutan. Verawaty Fajrin, juara dunia 1980, ternyata hanya meraih medali kelas dua. Padahal dua pemain cadangan Piala Thomas, Eddy Kurniawan dan Sigit Pamungkas, mendapat kalungan medali kelas satu!

Masih di cabang bulutangkis, kita juga menyayangkan dua pemain putri, Rosiana Tendean dan Mary Herlim yang tidak mendapatkan apa-apa. Padahal mereka turut memperkuat regu nasional meraih medali emas SEA Games 83.

Antri Beras

Bagaimanapun medali telah disematkan. Rasa riang juga terlukis di wajah para penerima. Banyak tanggapan dan kritikan terlontar. Tapi di samping sederet keteledoran panitia itu rupanya masih ada kekurangan yang lain.

Maman Suryaman misalnya, yang biasanya menerima apa adanya, rupanya berharap lain. "Saya dengar Menpora akan memberikan santunan. Lumayan nanti untuk beli kompor," katanya. Maman kini memboyong istrinya yang sedang hamil 6 bulan dari Bandung untuk mengontrak rumah kecil di bilangan Patal Senayan.

Menanggapi suasana ramai saat penyematan medali penghargaan, Maman bersuara sumbang. "Heran, suasana hikmadnya hanya waktu penerimaan medali kelas satu. Selanjutnya seperti antrian beras saja. Semrawut!" tukas lifter yang menerima medali kelas tiga itu.

Lain lagi cerita Yustedjo Tarik. Juara tenis Asian Games 82 ini ternyata tidak menerima undangan. Ia mengetahui dirinya menerima medali setelah mendapat kabar dari BOLA. Menurutnya ia sangat bangga mendapat penghargaan dari pemerintah, tapi menganggap lebih lengkap lagi kalau juga mendapat santunan. "Tidak perlu banyak, tapi pokoknya ada, itu yang penting," ujarnya senada dengan Maman.

"Kasihan rekan-rekan atlet lain yang tidak bisa melatih sebagai kelanjutan karirnya. Inilah yang perlu dipikirkan dan diberi bantuan oleh pemerintah," tambah Yustedjo.

Tentang pemberian medali itu Yustedjo menilai kurang hikmad dan khusuk. "Apa salahnya, misalnya, jika dilangsungkan di Istana. Jadi, tidak terasa sumpek. Apalagi begini, yang dapat banyak banget. Jadi, kayaknya tidak berharga," kilahnya.

Memang harus diakui, acara pemberian penghargaan ini kurang menunjukkan nilai tinggi. Misalnya saja, tatkala Menpora menyematkan medali, beberapa atlet sibuk bercanda sesama rekan di sampingnya.

Selain itu, terasa janggal juga upacara yang berlangsung di gedung KONI Pusat itu tidak dihadiri tokoh-tokoh utama KONI sendiri. Bahkan Ketua Panitia Pemberian Tanda Penghargaan, Rivai Harahap tidak terlihat.

Betul juga kata Menpora, pemberian penghargaan kali ini masih banyak kekurangannya. Apakah karena setiap permulaan memang sulit? Mudah-mudahan pada tahun berikutnya betul tidak terlalu teledor begitu, ah!

(Penulis: Ian Situmorang, Tabloid BOLA edisi no. 32, Jumat 5 Oktober 1984)