Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Tukang Panjat Kelapa Jadi Pemegang Rekor Dunia

By Caesar Sardi - Jumat, 22 Maret 2013 | 13:30 WIB
Nanda. (Dok. Tabloid BOLA)

tiba saja nama ini menjadi buah bibir khalayak ramai. Orang-orang kagum, salut, angkat tangan. Tetapi juga prihatin.

Kagum, karena Nanda satu-satunya putra Indonesia yang mampu menyodok rekor angkat berat dunia yang selama ini didominasi lifter-lifter Eropa dan Amerika. Salut pada liku-liku karirnya yang amat berwarna. Prihatin dengan kehidupannya yang menyedihkan.

Jumat, 21 September lalu, Nanda mengukir namanya sebagai pemegang rekor dunia baru, setelah dalam Kejuaraan Dunia Angkat Berat Yunior II di Perth, Australia, mematahkan rekor lama R. Caputo (Amerika Serikat) yang diciptakan dalam kejuaraan dunia I di Spanyol, tahun lalu.

Ya, siapa yang tidak akan angkat tangan padanya. Nama daerah diharumkan di mata nasional. Lambang "Garuda" di dadanya, dibawanya dengan keberhasilan yang amat berharga. Kini ia satu-satunya lifter Indonesia yang memegang rekor angkat berat dunia. Tak heran kalau setiba kembali di bandar udara Halim Perdanakusuma, kalungan bunga, ucapan selamat tertuju padanya. Berbagai tawaran pun muncul. Ya rumah, ya fasilitas. Juga gaji yang menggiurkan. Konon.

Tapi, seorang Nanda tetap Nanda yang polos, yang lugu dan tak banyak cakap. "Bagi saya hanya berlatih, berlatih, dan berlatih. Saya ingin menyabet rekor dunia senior Desember nanti di Amerika," ujar Nanda, anak keenam dari 10 bersaudara ini.

Patah Di Bandung

Rekor dunia yang disodoknya di Perth, Australia itu, sebenarnya sudah dipatahkan dalam kejuaraan Angkat Berat Asia Pasifik II, di Bandung, Juli lalu. Tapi belum diakui secara resmi. Baru, dalam kejuaraan dunia resmi dengan pemeriksaan air seni dan tes doping segala, pematahan rekor dunia Caputo itu diakui secara resmi.

Total angkatannya 500 kg. Sedangkan rekor dunia Caputo hanya 482,5 kg. Untuk angkatan deadlift, Nanda berhasil mengangkat barbel seberat 222,5 kg (rekor Caputo 195 kg), angkatan squat 180 kg (rekor Caputo 177,5 kg), dan total angkatan 500 kg (482,5 kg). Untuk angkatan benchpress, Nanda hanya berhasil mengangkat barbel seberat 97,5 kg, jauh dari rekor Caputo, 120 kg.

"Lengan saya ini sudah lemas sekali ketika angkatan benchpress itu. Lagipula, saya kurang fit," kata Nanda. Hambatan lainnya, cuaca yang dingin, menu yang tidak cocok dengan lidahnya, serta waktu istirahat yang sama sekali tidak ada. "Bayangkan, saya hanya sempat istirahat 3 jam setelah turun dari pesawat dan langsung bertanding," katanya polos.

Dengan marga Tetoum Banua, Nanda lahir 11 April 1965, di desa Telok Dalam, Gunung Sitoli, Nias, Sumatera Utara. Ketika ia masih kecil, Nanda dikenal sebagai anak nakal dan suka berkelahi. Anak keenam dari sepuluh bersaudara keluarga Sibalajisto dan Elnawati ini sering diadu teman sebayanya untuk berkelahi.

Pada umur 9 tahun, bapaknya meninggal dunia. Dua tahun kemudian, dengan jiwa mudanya yang berontak, Nanda meninggalkan kampung halamannya dan bertolak dengan sebuah kapal. Tujuannya Padang. Sekolahnya yang hanya sampai kelas 3 SD sama sekali tidak dipikirkan. "Cita-cita saya kuat sekali, untuk menjadi petinju," kata pemuda yang senang makan lontong ini.

Tidak berapa lama di Padang, Nanda memasuki sasana tinju Garuda Sakti di Seberang Padang. Dengan berat 56 kg dan tinggi 157 cm, agaknya Nanda terlalu pendek untuk menjadi seorang petinju. Lalu ia kenal dengan Edi Hermanto, pelatih angkat besi/berat dari klub Hasta Yudha.

"Pacar Saya"

Sejak awal 1982 itu, Nanda mulai ditempa menjadi lifter yang handal. Kehidupannya yang getir, dengan hanya menerima upah sebagai tukang antar es dari warung ke warung dan tukang panjat kelapa, membuat Nanda terus melecut dirinya. Baginya, barbel adalah hari-harinya. "Barbel itu pacar saya," ujar Nanda yang sejak meninggalkan kampung halamannya, desa Telok Dalam Nias, tak pernah menjenguk orang tua dan saudara-saudaranya ini.

Lima bulan di Hasta Yudha, sebuah klub yang berjuang dengan perlengkapan seadanya, Nanda tumbuh menjadi seorang lifter berbakat besar. Betul, akhirnya dari klub Hasta Yudha yang ruangannya hanya berukuran 4 x 8 m, pengap dan untuk mencapainya mesti melalui sebuah lorong kecil, melintasi sebuah kali, barbel-barbelnya pun sudah tua, telah lahir seorang juara dunia.

Berbagai invitasi dan kejurnas yang diikuti Nanda, senantiasa membuahkan medali. Bukan itu saja, perbaikan rekor nasional selalu dilakukan Nanda yang lugu, meski untuk itu ia sempat dua kali menjual sepeda balap kesayangannya.

Kejurnas 1982 di Yogya adalah kejuaraan pertama yang diikutinya. Tiga emas dan satu perunggu disabetnya. Rekornas juga ditumbangkan. Lalu, ikut Invitasi Angkat Berat di Bandung. Lagi, tiga medali emas dan satu perak diboyongnya ke Padang, disamping perbaikan rekornas atas namanya sendiri. Ini masih dalam tahun 1982.

Pulang dari Bandung kehidupan Nanda mulai membaik. Sejak itu, ia bekerja sebagai tukang mi. Namun masih menyedihkan. Bangun di subuh buta, Nanda sudah harus bergelimang dengan mi dan tahu sampai jam 12 siang. Namun ini tidak melemahkan semangatnya. Sore hari ia terus latihan dengan tekad yang meletup-letup, untuk menjadi seorang juara dunia.

Penagih

Ketika ikut kejurnas 1984 di Jakarta, awal tahun ini, lagi-lagi Nanda dilanda duka. Bantuan yang nyaris seperti mengemis pada KONI Sumbar dan Pemda-nya, hampir saja melemahkan semangat Nanda dan lifter-lifter Sumbar lainnya.

Tapi demi prestasi dan nama baik daerah, Nanda rela menjual sepeda balapnya. Hasilnya tak sia-sia. Empat medali emas, perbaikan rekornasnya sendiri, serta sebuah piala sebagai lifter terbaik diboyongnya pulang, membuat para tokoh olahraga di Sumbar tersentak.

Tapi justru Nanda lebih tersentak lagi. Bos di perusahaan mi tempatnya bekerja memecat Nanda yang sering kabur, mencuri waktu untuk latihan. Nanda terhenyak. Untung pelatihnya, Edi Hermanto, yang dikenal dekat Nanda membantu mencarikan jalan keluarnya. Lalu tampillah Ferryanto Gani sebagai penyelamat Nanda dipekerjakan sebagai karyawannya di bagian penagihan PT Elang Perkasa Motor. Bukan itu saja, Nanda juga diberi kelonggaran memacari barbel.

Di kejuaraan Angkat Berat Asia Pasifik II di hotel Preanger Bandung, kembali Nanda meraih medali perak. Padahal sebelum berangkat ia kembali patah semangat akibat KONI dan Pemda Sumbar tidak memberi perhatian. Kalau pun ada bantuan, hanya sekedar uang saku.

Ketika itu, di kejuaraan Angkat Berat Asia Pasifik II itu, peraih emasnya adalah Hideaki Inaba, juara dunia 10 kali. "Ia memang lebih tangguh dari saya," kata Nanda.

Bengkulu

Pulang dari Bandung inilah Nanda ditawari oleh Gubernur Bengkulu, Soeprapto, untuk pindah ke daerah penghasil lada itu. Tawaran rumah, gaji yang menggiurkan disodorkan. Tapi Nanda tetap mencintai Sumatera Barat, daerah yang melambungkan namanya.

Agaknya kepedihan-kepedihan terus melanda Nanda. Sebelum berangkat ke Perth, bantuan KONI yang nyaris diminta seperti pengemis, membuat Nanda tidak jadi berangkat. Sebelumnya, untuk biaya latihan, Nanda untuk yang kedua kalinya menjual sepeda
balap.

Di Jakarta, salah seorang pengurus KONI Pusat, di mana Nanda akan melapor, juga mengatakan bahwa uang Nanda untuk ke Australia kurang. Kemudian, bersama Yanto Arifin, lifter lain asal Sumsel yang akan diberangkatkan, Nanda ke Bandung, menemui manajer tim Indonesia, Ir Soehoed Warnaen yang juga Wagub Jabar. Untuk ini, Nanda bersama Yanto pun sempat pula tidur di gudang senam, ditemani sejuta nyamuk.

Nanda akhirnya berangkat. Pertama kali ke luar negeri, gelar juara dunia langsung direnggutnya. "Saya betul-betul gembira," kata Nanda yang berjanji akan menemui ibunya di Nias sana, setelah usai kejurnas yang sekaligus Pra PON XI, di Surabaya, November nanti. "Saya sudah rindu sekali. Bayangkan, delapan tahun tak bersua," ujarnya.

(Penulis: Hardimen Koto, Tabloid BOLA edisi 33, Jumat 12 Oktober 1984)