Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kapan suatu misi olahraga dianggap gagal? Tentunya jika atlet atau tim yang diterjunkan ke suatu gelanggang kejuaraan tidak berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan sebelum berangkat.
Dalam hal PSSI Garuda ke turnamen Piala Merlion di Singapura itu, gagal atau tidakkah misinya?
Terus terang, tidak mudah menjawabnya, apalagi jika diinginkan jawaban eksak. Sebab kita tidak tahu persis pesan apa yang dititipkan kepada tim asuhan pelatih Barbatana itu kecuali - biasanya - "bermainlah sebaik-baiknya".
Dengan tidak menyaksikan sendiri penampilan Marzuki dan kawan-kawannya melawan Australia, Belanda, dan Singapura di stadion nasional Kallang itu, tentu sulit untuk memberikan penilaian. Tapi kalau boleh menyimpulkannya dari skor-skornya, penilaian bisa cepat ditarik.
Dan itulah agaknya yang menjadi suara umum: prestasi Garuda merosot. Penampilannya mengecewakan. Malah ada yang menyebut (dengan nada kesal, karena dibantai Singapura 5-1) amat memalukan.
Singkatnya, kita sepakat bahwa misi Garuda ke turnamen di negeri - pulau itu tidak berhasil mencapai sasaran, biarpun "hanya" untuk bermain sebaik-baiknya. Kalau main baik, atau wajar saja, bagaimana bisa kalah begitu menyolok dari Singapura yang justru tidak menurunkan sebagian pemain intinya termasuk kiper David Lee?
Tapi penilaian terhadap penampilan mereka di Singapura ini tentu tak bisa disatukan begitu saja dengan pengertian bahwa misi pembentukan PSSI Garuda telah tidak mencapai sasarannya. Untuk itu, diperlukan sudut pandangan dan pertimbangan lain.
"Kasus Merlion" itu, betapapun mengecewakannya, nampaknya malah tidak lepas dari kesalahan sebelumnya di belakang meja. Atau mungkin bolehlah kita sebut sebagai akibat ketidakmampuan kita untuk bersikap "tidak".
Soalnya, konon, seorang pengurus PSSI langsung saja setuju ketika Singapura menawarkan Indonesia sebagai pengganti Muangthai. Padahal sebelumnya sudah dipastikan, sampai lima hari sebelum turnamen Merlion dimulai, Garuda harus melakukan tiga pertandingan di Malaysia.
Kalau misalnya kemudian timbul pemikiran bahwa turnamen itu lebih penting, kenapa perlawatan ke Malaysia tidak dibatalkan atau ditunda? Orang tak akan jadi masygul kalau kita bisa menjelaskan sikap kita dengan baik dan benar.
Singkatnya lagi, daya serap fisik dan mental dari perlawatan ke Malaysia itu jelas ikut mempengaruhi penampilan buruk Garuda di Singapura. Apalagi menghadapi lawan yang berbeda gaya permainan dan kondisi fisiknya - sebelum bertemu tim tuan rumah dalam keadaan loyo.
Nah, kini bagaimana misi pembentukan Garuda itu sendiri? Belum saatnyakah kita memberikan penilaian, termasuk kepada pelatihnya yang sudah menangani mereka setahun terakhir?
Ya, dengan mengamati perjalanan prestasi mereka sejak masih di bawah nama PSSI Yunior, nampaknya memang tak banyak lagi yang bisa diharapkan dari tim ini. Setidaknya, seperti juga kata kebanyakan ahli, materi pemain harus diperbaiki jika sayap-sayap Garuda itu diinginkan tetap mengepak.
Proses pembinaan Garuda yang "tidak alamiah" - mengkarbitkan mereka dari sebuah bentuk super club dengan harapan suatu saat bisa jadi tim nasional yang tangguh dan disegani - juga sudah saatnya diluruskan. Dua tahun rasanya waktu yang cukup panjang untuk membuktikan bahwa berbagai eksperimen telah tidak memberikan hasil yang sepadan dengan harapan.
Bagaimana Barbatana? Menilai dia dari turnamen Merlion semata, jelas tidak adil. Apalagi dalam kondisi tidak bisa tidak itu. Lebih pantas kalau menghakiminya karena kegagalan dalam penyisihan Piala Asia, Agustus lalu.
(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 36, Jumat 2 November 1984)