Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
ledak. Tetapi Daniel Bahari yang dijumpai BOLA, Minggu malam di restorannya, "Pino" di Denpasar, Bali jauh berbeda dengan sikap dan kebiasaannya dalam menghadapi wartawan. Bahkan semula ia menolak untuk diajak berbicara tentang tinju.
"Alah, apalah gua ini," katanya sambil terus mengelak. Tetapi setelah lagu And I Love You So yang dibawakan dua penghibur di restorannya berkumandang, Daniel mulai bernyanyi tentang keadaan tinjunya. Namun sebelum itu, secara diplomatis ia minta maaf jika nada bicaranya agak ngawur. Apa pasal? Daniel mengaku saat ini ia sedang berobat jalan.
"Betul. Sejak saya dianggap bersalah dan dimaki oleh banyak orang karena gagal di Olimpiade, saya merasa seperti ada sesuatu yang tak beres sedang berkecamuk di dalam diri dan otak saya. Terus terang, saya takut mengidap Parkinson seperti Mohammad Ali," tukasnya serius.
Tampaknya Daniel bergurau. Tetapi yang pasti, ia sangat kecewa pada keadaan. Itulah yang membuat ia serba ragu-ragu. Bahkan belakangan ini, ia nyaris menghentikan kegiatannya melatih tinju. Beruntung dua petinju asuhannya yang sedang mempersiapkan diri untuk bertarung di prof, Fransisco Lisboa dan Alexander Wassa, tekun berlatih sendiri.
Orang yang selama ini sangat giat dan produktif dalam membina para petinju di Pulau Dewata itu seperti kehilangan semangat. Malah cenderung patah arang. Ia mengakui tak mungkin berpisah dengan dunia tinju, tetapi untuk sementara, ia ingin menikmati hidup tanpa tinju. "Biar orang tak lagi memaki. Biar orang tahu bahwa Daniel tolol dan tidak pantas menjadi pelatih," kilahnya penuh arti.
Penghargaan
Diteguknya bir dari gelas besar yang disediakan anak buahnya. Lalu Daniel berkata, "Saya benar-benar bingung, apakah republik ini masih membutuhkan saya atau tidak?"
Ayah enam putera dan puteri ini mengaku, betapa pahitnya hidup setelah kehilangan muka. Tetapi Daniel tidak mengungkapkan secara terperinci, beban apa sebenarnya yang sedang diderita dan hinaan macam apa yang diterimanya.
Yang pasti, sejak peristiwa itu, ia menegaskan hampir 60 persen anak buahnya kehilangan pegangan. "Mereka tak lagi perduli pada saya. Inilah pukulan paling berat. Padahal, apa yang tidak dipikirkan orang untuk negeri ini, saya serahkan karena saya mampu melakukannya!" ucapnya agak parau.
Salah satu makian yang diterimanya datang dari PB Pertina sendiri. Ia dianggap tidak bisa dan tidak pantas menjadi pelatih karena berkeras anak-anak buahnya tidak boleh ditangani pelatih lain. "Itu salah satu saja," katanya.
Lebih jauh Daniel mengisahkan, betapa hatinya jadi tak tentram karena persoalan penghargaan dari Menpora untuk atlet-atlet berprestasi. "Tak satu pun anak buah saya memperolehnya. Padahal, menurut saya mereka pantas menerimanya. Misalnya Johny Asadoma, dia juara SEA Games. Kemudian Fransisco dan Alexander Wassa, juara-juara Piala Presiden dengan mengalahkan petinju Soviet."
"Kalau piala Presiden tidak dihargai, itu sudah keterlaluan. Bukan saja karena para pesertanya dari berbagai negara, lebih dari itu piala tersebut merupakan puncak prestasi dengan memperebutkan sesuatu dari kepala negara," tutur pengusaha restoran itu.
Namun ia cepat menambahkan, pihaknya sama sekali tidak menuntut, tetapi sekedar bertanya, mengapa hal itu sampai menimpa dirinya. "Atau memang sudah nasib? Tapi saya yakin, Menpora tidak diberitahu tentang hal ini. Jadi saya juga yakin tidak ada maksud pihak pemberi penghargaan untuk melupakan atlet saya," katanya lagi.
Dosa
Berbicara tentang tinju profesional, Daniel menegaskan hasratnya terjun ke prof bukan lantaran rasa kecewa dan makian yang didapat itu, melainkan sekedar menyalurkan bakat. Tetapi katanya, ada pihak-pihak yang menganggapnya telah berkhianat. "Apakah masuk prof itu dosa?" ujarnya setengah bertanya.
Menurut Daniel, sudah saatnya Fransisco Lisboa dan Alexander Wassa beralih ke prof karena usianya sedang menanjak. "Apakah saya harus menunggu usia mereka menjadi setengah abad baru boleh beralih status? Kok jadi lucu sih," katanya lagi.
Daniel menambahkan, seharusnya Pertina bangga karena baik Fransisco Lisboa maupun Alexander Wassa ditawar cukup mahal untuk main di prof. "Ini jelas bisa mengangkat gengsi amatir dan Pertina sendiri. Orang pasti akan berlomba-lomba untuk tampil sebagai juara Pertina agar ditawar semahal itu. Tapi mau bilang apa, saya benar-benar tak mengerti," kilah Daniel.
Tapi sekali lagi Daniel mengaku ia saat ini sedang berobat jalan. "Jadi jangan sampai ada yang sakit hati kalau saya bicara agak ngawur. Maklum ada gejala Parkinson," tukasnya sambil tertawa.
Malam pun terus menikam kota Denpasar. Restoran "Pino" milik Daniel Bahari yang belakangan terus ditongkrongi karena tak lagi sesibuk dulu, makin ramai didatangi orang-orang asing. Daniel pun tenggelam dengan kesibukannya sebagai manajer dan bos besar.
Lalu muncul setumpuk pertanyaan, apakah kita akan membiarkan orang segigih Daniel benar-benar menderita Parkinson serta tenggelam meninggalkan kesibukan hook dan uppercut di atas ring?
Jadi, apa penghargaan yang telah kita berikan untuk mereka yang berusaha membawa nama bangsa ini menjadi terkenal di mata bangsa lain? Entahlah, barangkali nasibnya akan seperti pantai Sanur yang ketika itu dihunjam malam dan beberapa saat kemudian terik siang menikamnya.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 38, Jumat 16 November 1984)