Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pada usia 17 tahun, Marco van Basten telah dipanggil oleh pelatih nasional Kees Rijvers untuk digembleng menjadi ujung tombak kesebelasan Belanda, si Oranye.
Rijvers yang bulan lalu mengundurkan diri dan kedudukannya sebagai manajer dan pelatih national Belanda digantikan Rinus Michels, arsitek kejayaan sepakbola negeri tulip itu, merasa yakin Van Basten punya potensi menjadi pemain besar.
Tetapi yang terus menjadi pertanyaan umum, apakah penyerang tengah klub Ajax ini memang memiliki kualitas seperti diramalkan Rijvers?
Berikut ini adalah potret diri Van Basten, yang kini berusia 19 tahun. Bintang dunia asal Belanda Johan Cruyff, ketika berkunjung ke Jakarta awal Juni tahun ini, mengatakan bahwa pemain terbaik Belanda yang akan menggantikannya kelak sebagai maha bintang adalah Van Basten.
Ramalan Cruyff ternyata tidak meleset. Oktober lalu, Federasi Sepakbola Prancis yang disponsori Adidas telah menghadiahkan "Sepatu Perak" kepadanya karena ia mencetak 28 gol dalam musim kompetisi Liga Belanda yang lalu. Bersama dia, Michel Platini dari Juventus dan Ian Rush dari Liverpool menerima pula hadiah "Sepatu Emas".
Kualitas sebagai pemain besar yang dimiliki Van Basten sebenarnya sudah nampak nyata sejak tahun lalu ketika berlangsung Kejuaraan Dunia Yunior di Meksiko. Dalam empat kali duel dengan tim Meksiko, ia sudah mampu memperlihatkan permainan yang demikian mengesankan sebagai ujung tombak kesebelasan Belanda, sehingga majalah beroplah besar di negerinya. Voetbal International, sengaja menurunkan profilnya secara lengkap.
Kesimpulan yang ditarik para pengamat: Marco van Basten memang punya potensi besar dan memiliki kualitas langka sebagai ujung tombak kesebelasan Belanda kelak. Sementara temperamennya yang tenang menempatkannya dalam posisi untuk selalu bisa mengubah ramalan yang tak menguntungkan dirinya.
"Saya banyak memperoleh penjelasan dari Rijvers tentang diri saya sendiri dan mencamkannya baik-baik dalam benak. Dengan bekal itulah saya bisa merebut kedudukan penting di Ajax," ujarnya kepada Bert Nederlof dari majalah Voetbal International.
Warisan Ayah
Di tengah hiruk-pikuk publisitas terhadap para pemain Belanda seperti Been dan Henk Duut yang memang termasuk pemain top dalam arti sebenarnya, Marco van Basten seolah bagaikan sebuah nada yang berbunyi asing ketika itu di Meksiko.
Been dengan lahapnya terus mereguk publisitas yang dibuat media massa di negeri itu. Padahal Van Basten seakan tersisih ke sudut, luput dari perhatian, meski sebagian permainan mengesankan kesebelasan Belanda saat itu berasal dari manuver-manuvernya yang penuh ilham.
"Menghadapi kenyataan demikian, peraaaan saya tak sedikit pun tersinggung. Saya biarkan saja segalanya mengalir tenang dalam pikiran saya. Itulah yang selalu saya lakukan dan itu pula yang saya perbuat di Meksiko. Namun tidak berarti, saya tidak merasakan kepuasan dalam pertandingan di sana. Kami benar-benar memperoleh pengalaman besar di negeri itu," tuturnya.
Pembawaan tenang ini tak pelak lagi tentunya diwarisi dari ayahnya, yang memang mempunyai peranan besar dalam perkembangan karir sepakbola anaknya. Sang ayah ternyata pernah menjadi bek kiri cukup handal dalam kesebelasan DOS dan selain itu merupakan pula pemegang ijazah pelatih kelas B di negerinya.
Van Basten tua antara lain melatih di DOS dan Fortitudo. "Ayah saya selalu memberikan kritik pada saya. Sampai sekarang kami masih sering bercakap-cakap tentang sepakbola. Ayah saya tentu saja boleh memberikan pendapat pribadinya tentang saya selaku pelatih dan pemain yang lebih tua," ujar Van Basten muda.
Van Basten tua dulu merupakan seorang bek kiri yang keras, tetapi cukup sportif. Ia juga ketika berusia 17-an selalu terpilih menjadi ujung tombak klub. Namun setelah itu, ia dipindahkan ke posisi di daerah pertahanan.
Hal serupa juga nyaris dialami Van Basten muda diawal karirnya. Sebagai ujung tombak yang paling banyak disorot, ia hampir setiap kali bertanding selalu mendapat semprotan. Tak heran kalau pada suatu hari ia memerlukan datang minta nasihat pada ayahnya dan mengatakan. "Yah, saya lebih baik menjadi gelandang saja, agar tidak terlalu sering menerima semprotan!"
Tapi apa jawab sang ayah? "Posisi ujung tombak jarang yang mampu melakukannya. Pemain di posisi ini termasuk barang langka," katanya. "Nah, di sanalah sebenarnya terbuka banyak kemungkinan bagimu." Maka setelah menerima nasihat sang ayah, Van Basten muda itu pun tak jadi pindah posisi. "Untuk ini, saya sangat berterima kasih kepada ayah saya," ujarnya.
Selangkangan
Marco van Basten dibesarkan di sekitar daerah terusan sungai di Utrecht, di mana anak-anak masih punya kesempatan bermain sepakbola di jalan-jalan. Van Basten muda ini pun bisa memetik manfaat, besar dari keadaan lingkungan sekitarnya. Ia pun menjadi salah seorang jagoan bola jalanan.
bersambung
(Penulis: Hikmat Kusumaningrat, Tabloid BOLA edisi no. 38, Jumat 16 November 1984)