Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
angan, begitu kira-kira desah kecil yang meluncur dari bibir Harry Tjong, pelatih Tunas Inti, sambil menunduk, setelah kesebelasannya runtuh di tangan UMS, 0-1.
Apa yang terus dibayangkan dan menjadi angan-angan Tunas Inti yang membusung, malam itu memang terpaksa tenggelam seperti kapal karam. Bahkan, detik-detik tenggelamnya biduk itu harus pula disaksikan bos besarnya, Benniardi, yang belakangan ini lebih sering berada di Amerika.
Sakit memang. Apalagi Tunas memiliki segalanya untuk membubung menjadi yang terbesar. Tetapi barangkali nasib memang menentukan lain. Sayup-sayup kita juga mendengar suara-suara tentang kegagalan itu. Suara ada yang tak pernah nyata.
Ambisi untuk bercokol di tangga teratas kompetisi Galatama sudah mulai dibangun Tunas sejak masih berada di tangan pelatih Sinyo Aliandu tahun 1981. Belasan bintang top saat itu direkrut untuk mencapai ambisi manis tersebut. Tapi kegagalan demi kegagalan terus dihadapinya.
Tahun berganti, Tunas pun merekrut pemain terbaik Indonesia dari Warna Agung, Ronny Pattinasarani. Nasib baik ternyata masih tetap jauh dari genggaman tangan klub milik Benniardi ini. Entah di mana letak kekurangannya, sehingga untuk meraih mahkota itu seperti terasa sangat mustahil.
Padahal, melihat segala sudutnya, Tunas adalah klub terbaik. Secara finansial pun, klub dengan dukungan perusahaan farmasi terbesar PT Tempo ini masih tetap tergolong paling tinggi. Satu hal yang sering menjadi masalah bagi ketentraman para pemain.
Jalan Sulit
Secara mutu teknik, barangkali orang awam pun tahu Tunas jempolan. Tidak kurang setengah lusin pemain dengan predikat pemain nasional berkumpul di sana. Selebihnya pemain muda potensial dengan kelas tersendiri.
Barangkali tanpa berlatih bersama pun Tunas bisa sembarangan turun. Ini tidak lain karena kemampuan individu di antara mereka benar-benar imbang dan tetap terbaik. Rully Nere, anak muda dari Jayapura itu misalnya - sekumpulan tokoh sepakbola nasional pasti sama berpendapat - memiliki segalanya dalam dunia sepakbola. Bakat alamiahnya luar biasa. Ia mampu membuat gerakan apa saja yang sangat menyulitkan lawan. Umpan-umpannya sangat akurat.
Tetapi sekali lagi, nasib baik masih seperti terlalu jauh dari jangkauan. Apa boleh buat. Namun apakah kita harus terus terpaku dengan persoalan nasib? Jawabnya tentu tidak. Tetapi mencari jalan terbaik untuk Tunas memang terlalu sulit, mungkin.
Orang akan ingat pada Piala Dunia 1982 di Spanyol. Siapa pun akan menjagoi Brasil. Kesebelasan dengan kemampuan terlengkap. Tetapi nasib menentukan lain, mereka kandas di tangan Italia. Meski begitu Brasil memang tetap menjadi yang terbaik walau tanpa mahkota. Tetapi apakah Tunas akan puas dengan menjadi yang serba "ter", meski tanpa mahkota? Pasti Benniardi tak akan puas dengan predikat itu. Tapi mau bilang apa. Ibarat burung Rajawali, Tunas sudah kehilangan kepaknya.
Sebenarnya peluang untuk mencapai angan-angan, masih tetap terbuka. Tetapi segalanya bergantung pada klub lain. Inilah yang serba tak masuk akal. Semua bergantung pada "Kalau si anu kalah dari si ini dan si itu kalah dari si anu". Pendeknya benar-benar tak masuk akal sehat.
Wajah Duka
Kehancuran Tunas sebenarnya mulai terbujur setelah mereka secara tragis rontok 1-2 di tangan Bali Yudha, klub paling bawah yang tak masuk hitungan sama sekali, minggu sebelumnya. Kemudian mereka ditahan Makassar Utama yang nyaris merontokkannya di Ujungpandang, 0-0.
Detik-detik keruntuhan Tunas makin terasa, setelah Ronny Pattinasarani mengalami cedera di pinggangnya. Pemain sekaliber Ronny dengan predikat jenderal, memang amat mutlak bagi rekan-rekannya. Ketika Harry Tjong menariknya keluar, terasa kapal tak lagi bernakhoda. Kendali mereka terhambur begitu saja. Ini sama seperti ketika Ronny tak berkutik di Bali. Tunas benar-benar kehilangan kendali.
Malam makin terasa pekat, setelah wasit Jafar Umar yang malam itu memimpin pertandingan meniupkan peluit panjang. Tjong coba mendapat cerita langsung dari Bonar untuk gol yang dicetak Saud Tobing, ujung tombak UMS 80 tujuh menit menjelang usai. Nadanya agak tinggi, sehingga membuat Bonar pun berkeras.
Tapi setelah ditenangkan sang bos besar, suasana agak reda. Gelandang serba bisa, Stefanus Sirey, kemudian angkat bicara. Ia mengaku ragu ketika bola dengan tiba-tiba lewat di hadapannya. Dan ia pun beranggapan Bonar pasti lebih ragu lagi karena posisinya persis di belakangnya.
Begitulah kekalahan. Tunas yang menjadi sepi dari kata-kata, berlalu dengan gontai. Wajah-wajah penuh duka membaur di mana-mana. Anjas Asmara, asisten pelatih, sempat dihiasi air bening yang meleleh dari matanya. Ia seperti singa tua yang kehilangan segalanya. Kasihan, jerih payah itu tak terbalas. Sekali lagi, selamat jalan angan-angan, sampai jumpa tahun depan.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA edisi no. 39, Jumat 23 November 1984)