Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Untuk Menggapai Sukses Diperlukan Proses

By Andi Yanianto - Senin, 15 April 2013 | 13:25 WIB
SMA 3 putri, juara DBL Jakarta 2013. (DBL Indonesia)

turut saya asyik belajar aplikasi pendidikan progresif dari kompetisi bola basket pelajar SMA bernama Honda DBL. Bukan karena pembuat liga ini seorang Azrul Ananda, seorang teman lama yang penggila bola basket, balap Formula 1, dan sekarang lagi keranjingan bersepeda. Namun, saya melihat beberapa konsep pendidikan diaplikasikan dengan nyata, konsisten, dan disiplin di DBL Jakarta khususnya.

Peraturan DBL 2013 tegas mengatakan, pemain pindahan tidak boleh bermain. Yang pernah tinggal kelas, jangan coba-coba mendaftarkan diri. Sebab, dilarang keras siswa tak naik kelas bermain di DBL. Pelajar yang mendapatkan benefit dari kemampuan bermain basket dilarang keras. Beasiswa pendidikan dengan nilai maksimum Rp 5 juta/tahun, masih diizinkan.

Dalam koridor pendidikan, apa yang dilakukan DBL dengan menerapkan disiplin ketat akan memberikan pengalaman sangat dalam kepada para peserta. Para peserta juga diajari mendapatkan privilese sekaligus konsekuensi. Tim putra favorit, SMA 36, harus merasakan konsekuensi setelah mereka harus kalah WO karena jumlah pelatih mereka tidak memenuhi persyaratan panitia, meski pemain sudah hadir di lapangan!

John Dewey, seorang pakar pendidikan progresif, berpendapat bahwa pendidikan itu sebisa mungkin memberi kesempatan untuk belajar secara perorangan. Dewey juga mengatakan bahwa pendidikan progresif itu juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar lewat pengalaman (learning from experience). Pengalaman itu bisa yang menyenangkan, atau yang pahit sekalipun.

Bicara masalah pengalaman, saya teringat pada sebuah buku yang ditulis seorang Doktor pendidikan dari Thailand, Dr. Rung Kaewdang. Rung menulis buku "Belajar dari Monyet"/Learning from Monkeys (Khruu Somporn Kon Son Ling).

Dr. Rung menawarkan merevolusi pendidikan di Thailand dengan belajar dari Khruu (guru) Somporn, anak petani yang hanya mengenyam pendidikan rendah, dan mengajar di Akademi Pelatihan Monyet. Meskipun Khruu Somporn berpendidikan rendah, oleh Dr. Rung prestasinya bisa disejajarkan dengan salah satu tokoh pendidikan di Thailand yang memiliki sederet gelar.

Dr Rung dalam pendahuluan buku itu menulis "Saya sangat terkesan dengan metodologi dan prinsip-prinsip psikologi yang digunakan Khruu Somporn. Meskipun saya pribadi sudah meraih gelar doktor dalam bidang pendidikan dan mempunyai pengalaman mengajar yang luas, saya merasa tidak dapat dibandingkan dengan dia dalam cara mengajar siswa-siswanya."

Khruu Somporn mendidik monyet-monyet liar agar bisa menjadi mitra yang andal para petani di Thailand Selatan dalam memetik kelapa. Kelapa adalah salah satu komoditas pertanian andalan Thailand. Perlu kecepatan dan kemampuan sortasi yang tepat saat di atas pohon untuk menentukan sebuah kelapa sudah tua dan siap dimanfaatkan.

Manusia memang memiliki kemampuan memilih kelapa yang sudah matang. Namun, untuk memanjat ribuan pohon di areal yang sangat luas, hampir mustahil mengandalkan tenaga manusia. Beberapa hal yang mengesankan bagi Dr. Rung pada Khruu Somporn antara lain:

1. Khruu Somporn tak pernah menolak calon siswa. Ia pun tidak pernah mengeluarkan siswa dari sekolah. Somporn menerima murid tanpa test, dan tidak ada ujian.