Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
“...there is an indigenous watercraft”, begitulah ungkapan awal yang menjadi pembuka penjelasan sejarah perkembangan olahraga dayung di halaman situs milik International Canoe Federation (ICF), induk organisasi olahraga kayak seluruh dunia. Ungkapan yang sangat menjelaskan bahwa mendayung merupakan sebuah kegiatan yang sudah berlangsung sejak lama di berbagai negera di penjuru kolong langit.
Di Greenland, lokasi dimana nama kayak berasal, mendayung kayak digunakan untuk membantu warga setempat mencari ikan dan berburu. Dengan menggunakan kulit kayu atau batang kayu yang sudah dilubangi tengahnya, mereka melakukan perburuan lintas pulau menggunakan kayak. Di Indonesia, suku-suku di pedalaman Papua dan Kalimantan memanfaatkan rakit yang terbuat dari kayu untuk membantu mendatangi lokasi-lokasi lain di sekitar tempat tinggal mereka yang berawa.
Lalu bagaimana dengan sekarang? Transformasi dari kayak tidak lagi hanya digunakan sebagai alat transportasi saja, melainkan sudah menjadi ajang rekreasi, hobi, ekspedisi, dan olahraga. Sebagai olahraga, kayak sudah mulai dipertandingkan sejak Olimpiade musim panas ke-11 di Berlin pada tahun 1936, dan mulai dipertandingkan secara reguler pada Olimpiade di Barcelona pada tahun 1992.
Di London 2012, dua buah cabang olahraga kayak dipertandingkan dengan memperebutkan total 11 medali emas. Cabang slalom memperebutkan sembilan emas yang dibagi ke dalam sembilan kategori lomba, sedangkan cabang sprint hanya memperebutkan dua emas yang dibagi ke dalam dua kategori lomba. Atlet dari Prancis dan Italia menjadi raja dalam cabang slalom dengan masing-masing membawa pulang sebuah medali emas. Di cabang sprint kontingen dari Jerman dan Hungaria membawa pulang masing-masing dua emas, sedangkan sisanya menjadi milik atlit dari Italia, Australia, Ukraina, Rusia, Inggris Raya, dan Norwegia.
Tak jauh berbeda dengan berkembangnya kayak sebagai olahraga, kayak juga berkembang menjadi kegiatan rekreasi, hobi, dan ekspedisi. Sejumlah sungai-sungai di dunia menjadi tujuan favorit para kayaker untuk memacu adrenaline mereka. Jeram-jeram besar di sepanjang sungai Zimbabwe, Nepal, Bhutan, Selandia Baru, Cili, dan Amerika, menjadi tujuan ekspedisi.
Di Indonesia sendiri, banyak sungai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang sudah dieksplorasi untuk kegiatan kayaker lokal maupun internasional. Namun memang belum terlalu banyak kayaker lokal indonesia yang melakukan ekspedisi kayak.
Awal bulan Mei lalu, saya mengikuti ekspedisi kayak yang dilakukan oleh MAPAGAMA (Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta, bersama dengan enam orang kayaker mengarungi sungai Sun Koshi di Nepal.
Tim yang beranggotakan mahasiswa dan mahasiswi usia 20 tahunan ini menjadi tim kayak pertama dari Indonesia yang mengadakan ekspedisi kayak di luar negeri. Selama sembilan hari pengarungan, mereka menempuh jarak sejauh 282 kilometer dengan kelas jeram yang beragam. Enam orang kayaker MAPAGAMA dan tiga kayaker lokal Nepal tersebut, menghabiskan rata-rata 30 kilometer pengarungan setiap harinya. “Mereka masih sangat muda, ilmu mereka akan sangat bisa berkembang setelah dari sini,” ujar Mahdukhar Pakhari, seorang kayaker Nepal dengan pengalaman lebih dari 12 tahun di dunia kayak, yang turut mendampingi ekspedisi tersebut.
Keenam kayaker MAPAGAMA itu boleh jadi merupakan sekumpulan orang dari Indonesia yang pertama kali merasakan jeram di sungai Sun Koshi Nepal, meskipun di Indonesia sendiri masih banyak kayaker-kayaker lain yang belum memperoleh kesempatan yang sama seperti mereka.
Fadil Ramadhan, kayaker termuda (20 tahun), sempat melontarkan keinginannya untuk mengembangkan kayak di Indonesia. “Sudah saatnya kayak di Indonesia semakin berkembang. Kita punya banyak sungai yang tidak kalah dengan negara lain dan juga kualitas kayaker yang tak kalah mutunya dengan kayaker luar negeri,” ucapnya di sela pengarungan sungai Sun Koshi kepada saya.
Secara geografis, Indonesia dianugerahi ribuan sungai. Dalam konteks upaya pengembangan kayak, pemanfaatan sungai-sungai di Indonesia sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang cukup. Sedikit bercermin dari Nepal, sungai-sungai yang biasa dipakai untuk arung jeram dikelola dengan baik. Situasi, kondisi, dan regulasi memungkinkan pengarung jeram melakukan ekspedisi dengan aman dan nyaman. Sebagai gambaran, pada tahun 2011 sebanyak 2.181 pengarung jeram dari berbagai negara mendatangi Nepal, dan mereka menjadi penyumbang pendapatan negara Nepal sebanyak 205,8 milyar rupiah. Bagaimana dengan Indonesia?
(Penulis: Kurnia Fahmy/MAPAGAMA)