Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Sepak Bola Indonesia Merdeka (?) (Bagian 2)

By Dominico Tri Sujatmoko - Selasa, 5 November 2013 | 12:15 WIB
Joko Driyono, CEO PT. Liga Indonesia (Fernando Randy/BOLA)

-meski kadang terasa sangat kosong.

Saya cuma berandai - andai: bagaimana ya rasanya jika tak ada regulator tunggal berwujud FIFA, sebuah organisasi yang jelas tidak digambarkan sebagai pemersatu dunia yang baik oleh Andrew Jennings dalam bukunya, Foul! The Secret World of FIFA: Bribes, Vote-Rigging and Ticket Scandals.

Saya berandai - andai bangsa ini memahami kondisi negerinya sebagai sebuah negeri kepulauan nan luas, kesulitan keuangan klub - klub lokal yang selama ini jadi "tamu kurang cantik" di negaranya sendiri, serta kondisi sosial-politik-ekonomi bangsa ini secara keseluruhan. Saya berandai - andai ada Liga Sumatera, Liga Jawa, Liga Kalimantan, Liga Sulawesi, dan Liga Papua, misalnya. Klub - klub jadi tak perlu mengalami kondisi berat di ongkos. Boaz tak perlu "mengelilingi bumi" lagi untuk mencetak 24 gol dan menambah koleksi gelar tertinggi kompetisi domestik Indonesia.

Namun, andai - andai saya rasanya akan jadi impian ngawur dalam sistem logika saat ini. Dalam sebuah pola pikir "sepak bola mesti menjadi industri" seperti yang ada saat ini, membagi liga sepak bola menjadi lima wilayah akan terasa sama "ngawurnya" dengan langkah mempertahankan ruang terbuka untuk resapan air dan tidak mengubahnya menjadi kompleks perumahan.

Dalam sistem logika "akibat globalisasi" saat ini, pemberlakuan ISL lima wilayah akan terlihat sebagai langkah mundur yang sama kunonya dengan dinosaurus karena hanya ada satu wilayah teratas di negeri Man. United, Barcelona, Bayern, dan Juventus--meski mungkin akan lebih pas sebenarnya buat negara yang punya tiga zona waktu dan memiliki begitu banyak pulau hingga sekitar sembilan ribu di antaranya belum diberi nama seperti Nusantara!

Sistem logika, pola pikir, atau--sebagian orang menyebutnya ideologi kita bukanlah milik orang sepak bola Indonesia lagi. Kita orang internasional dalma pergaulan global., sehingga visi kita, ya, memang serupa dan (kayaknya, rasanya, sepertinya) selevel dengan orang - orang Barat sana, jadi ya sepak bola "disama-samakan".

FIFA dan media global berhasil menghegomoni kita sebagai bangsa Indonesia dan masyarakat sepak bola Indonesia. Impian menjadi Barat ini tampaknya akan lama hidup di sini. Saya juga tahu diri. Kompetisi lima wilayah tampaknya masih jadi impian terlalu muluk (buat saya) dan terlalu ngawur (buat kebanyakan pecinta sepak bola Indonesia). 

Saya punya impian lain yang lebih ringan: melihat liga tertinggi di negara saya menyandang nama resmi Liga Super Indonesia, bukan Indonesia Super League. Atau ada aturan FIFA yang mengatur bahwa nama kita juga mesti kuminggris?

 

Artikel ini ditulis oleh Achmad Lanang Sujanto dan dimuat oleh FourFourTwo Indonesia edisi September 2013.

Ikuti segala perkembangan terbaru tentang sepak bola di @FFT_Indonesia.