Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Prestasi Icuk Sugiarto sebagai pebulu tangkis tunggal putra era 80-an tak perlu diragukan lagi. Berbagai gelar juara bergengsi sukses ia persembahkan untuk Indonesia.
Pria asal Solo, Jawa Tengah itu berkontribusi mengantarkan Indonesia menjuarai Piala Thomas 1984, Piala Sudirman 1989, meraih medali emas Asian Games 1982, dan satu gelar juara dunia bulu tangkis 1982.
Baca juga: Skuat Malaysia pada Piala Thomas 2018 Dituduh Tak Punya Semangat
Kini, usia Icuk sudah menginjak angka 55 tahun, dan sampai saat ini dia masih mengikuti perkembangan bulu tangkis nasional, mulai dari atlet hingga kepengurusan badan cabang olahraganya.
Di mata Icuk, ada yang salah dari kebijakan Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) saat ini, terutama dalam menentukan skuat Piala Thomas dan Uber 2018.
Terlepas dari hubungannya dengan Tommy Sugiarto (pemain tunggal putra non-pelatnas) sebagai ayah dan anak, Icuk menilai PP PBSI sudah melakukan ketidakadilan.
Menurut pandangan Icuk, Tommy masih layak memperkuat tim putra Indonesia pada Piala Thomas 2018 karena belum ada satupun dari empat pemain tunggal putra pelatnas yang bisa mengalahkannya.
Keempat pemain tunggal putra yang dimaksud adalah Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa, dan Firman Abdul Kholik.
Teranyar, Tommy memang disingkirkan Jonatan pada perempat final New Zealand Open 2018, tetapi hanya melalui retired karena Tommy mengalami cedera.
"Terus terang, bukan karena kebetulan Tommy Sugiarto anak saya, tetapi terlihat PBSI sudah melakukan ketidakadilan dan melakukan penzaliman atas hak-hak atlet," kata Icuk saat ditemui BolaSport.com dan para awak media di Rumah Dinas Menpora, di Widya Chandra, Jakarta, Senin (28/5/2018).
"Dari segi peringkat dunia, Tommy menempati posisi ke-25 dunia. Kalau dibandingkan dengan pemain tunggal ke-3 dan ke-4, di sini terlihat PBSI sudah tidak adil," tutur Icuk.
Icuk berpendapat bahwa faktor non-teknis turut berpengaruh terhadap keberhasilan tim bulu tangkis Indonesia di panggung internasional.
Seandainya saja, kata Icuk, PBSI bisa bersikap lebih adil dan bijak, tim bulu tangkis Indonesia diyakini akan mendapatkan keberkahan dan dilancarkan dalam setiap usahanya.
"Bagaimana Allah akan memberkahi perjuangan Indonesia?" kata Icuk dengan mimik wajah serius.
"Menjelang Piala Thomas 2018, PBSI sudah melakukan kebijakan yang tidak adil, sudah membuat keputusan yang tidak bijak, sehingga pada akhirnya itulah yang dicapai tim Indonesia," tutur dia.
Baca juga: Pelatih Jepang Ungkap Alasan Merombak Nomor Ganda pada Final Piala Thomas 2018
Untuk ke depannya, Icuk berharap PBSI tak abai terhadap potensi atlet-atlet bulu tangkis yang ada di luar pelatnas.
Dia berargumen, selama PBSI masih memakai anggaran negara dalam berbagai ajang olahraga, semua pemain Indonesia, baik pelatnas dan non-pelatnas, layak untuk dipertimbangkan.
"Semua anak bangsa, tanpa terkecuali, kalau memang menunjukkan prestasi terbaik, sewajarnya bisa mewakili Indonesia. Itulah yang harus diperlihatkan oleh pimpinan-pimpinan di PBSI," ucap Icuk.
"Jangan sampai ada kepentingan kelompok yang pada akhirnya mengorbankan Indonesia."
Di sisi lain, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI Susy Susanti menyatakan bahwa pemilihan skuat Piala Thomas dan Uber 2018 didasari oleh segi usia dan kebersamaan di pelatnas.
Dari segi usia, Firman jelas lebih muda daripada Tommy atau pemain tunggal putra non-pelatnas lainnya, Sony Dwi Kuncoro.
Kemudian dari segi kebersamaan di pelatnas, Susy berpendapat pemain yang berada di pelatnas lebih terpantau.
"Kondisi di dalam (pelatnas) lebih kondusif dan terpantau. Kalau di luar kami tak tahu seperti apa," ucap Susy menjelaskan.