Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Kisah 4 Bintang Sepak Bola Indonesia, dari Era Ricky Yacob sampai Egy Maulana Vikri

By HAI Online - Jumat, 13 April 2018 | 16:38 WIB
Egy Maulana Vikri saat diperkenalkan ke hadapan publik Lechia Gdansk di Stadion Energa Gdansk, Polandia, Minggu (11/3/2018) ( www.instagram.com/egymaulanavikri/ )

Sepak bola adalah identitas sebuah bangsa. Buktinya bisa kita lihat dan rasakan langsung ketika ada gelaran besar dimulai, misalnya kaliber Piala Asia, sampai Piala Dunia

Pesta-Asia.com - Selalu ada kebanggaan tersendiri ketika Timnas negara kita sukses lolos bahkan juara. Yap, lewat kehadiran si kulit bundar, peliknya hidup hingga segala situasi konflik dan perang di dunia ini sering kali bisa terlupakan sejenak.

Yap, sepak bola bisa menjadi “obat sementara” yang mujarab bagi segala kesulitan di berbagai belahan dunia, dan pastinya nggak terkecuali di Indonesia. Bahkan ketika nama Indonesia belum “lahir”, dengan nama Hindia Belanda, para pemuda sebelum era kemerdekaan udah ikutan Piala Dunia 1938 di Prancis. Indonesialah negara di Asia pertama yang ikut Piala Dunia, bro.

Setiap era selalu ada sosoknya. Kali ini, kita akan membahas sosok-sosok muda yang pernah membawa harum nama bangsa di Timnas Sepak Bola Indonesia. Ada empat sosok dengan semangat #YoungnLoud dari era 80 hingga 2010-an yang kisahnya bakal HAI ceritakan.

Semuanya punya benang merah yang sama, sejak masih muda seperti kita, mereka telah berkilau di lapangan hijau. Kalo mereka aja bisa, kita juga mungkin bisa, dong?

1. Ricky Yacob


Ricky Yacobi (paling kanan bagian atas) saat memperkuat tim nasional Indonesia(Dok. BOLA)

Sosok fenomenal yang bersinar di era 80-an adalah Ricky Yacob, yang kemudian lebih dikenal sebagai Ricky Yacobi (Nanti bakal diceritain kenapa namanya bisa berubah). Om Ricky lahir di Medan pada 12 Maret 1963. Dia dikenal sebagai penyerang yang memiliki kelebihan dalam hal kecepatan. Dia juga menjadi ujung tombak andalan tim nasional pada era 80-an.

Sepanjang kariernya di Indonesia, Om Ricky pernah memperkuat PSMS Medan, Arseto Solo, BPD Jateng, dan PSIS Semarang. Pada 1980, doi berperan mengantarkan PSMS Medan yunior juara Piala Soeratin, yang notabene adalah turnamen khusus pemain di bawah usia 18 tahun.

Selepas dari PSMS, Om Ricky menyeberang ke Pulau Jawa untuk bergabung dengan salah satu klub anggota Galatama, Arseto Solo. Di klub inilah, Om Ricky nggak pernah sekalipun mencicipi gelar juara Galatama. Akan tetapi, doi sukses menjadi top skorer Galatama sebanyak dua kali, yakni pada 1987 dan 1990.

Karier Om Ricky di level tim nasional lebih mentereng ketimbang di klub. Dalam balutan seragam merah putih, Ricky sukses mengharumkan nama Indonesia di sejumlah ajang internasional. Pada Asian Games 1986 di Korea Selatan, Om Ricky menjadi kapten tim.

Saat itu, pada babak penyisihan grup, Indonesia tergabung di Grup C bersama Arab Saudi, Qatar, dan Malaysia. Meskipun berada di grup yang tergolong sulit, Om Ricky cs. mampu melaju ke babak selanjutnya setelah menduduki peringkat kedua dengan perolehan tiga poin.

Pada babak perempat final, Indonesia bersua dengan Uni Emirat Arab (UEA). Aksi Om Ricky mengundang decak kagum dengan mencetak gol sensasional untuk Indonesia. Dia menciptakan gol dengan cara melepaskan tembakan voli first time ke gawang UEA dalam jarak yang cukup jauh.

Setelah ajang Asian Games, Om Ricky mencatatkan prestasi mengilap saat berlaga di SEA Games 1987 yang digelar di Jakarta. Om Ricky berjasa mengantarkan Indonesia meraih medali emas pertama dari cabang sepak bola pada ajang ini. Pada 1988, Om Ricky diboyong klub asal Jepang, Matsushita FC (kini berganti nama menjadi Gamba Osaka).

Nah, di Negeri Sakura, nama belakang Om Ricky berubah dari "Yacob" menjadi "Yacobi". Pasalnya, orang-orang di Jepang lebih suka menyebut nama belakangnya dengan "Yacobi". Sejak itulah, nama "Yacobi" menjadi lebih akrab.

Om Ricky pensiun dari karirnya sebagai pesepak bola pada 1996. Namun, semangat dan kepeduliannya dalam mengembangkan sepak bola Indonesia nggak pernah surut. Setelah gantung sepatu, doi mengelola sebuah Sekolah Sepak Bola (SSB) yang bernama Ricky Yacobi.

SSB ini berlokasi di Lapangan F, kompleks olahraga Senayan, Jakarta Pusat. Dalam sistem pembinaannya, SSB Ricky Yacobi menjaring bocah berbakat berusia 7-12 tahun. Salut buat Om Ricky!

 

2. Kurnia Sandy


Pelatih kiper T-Team, Kurnia Sandy (dua dari kiri) dalam sesi latihan malam timnya pada 16 Juni 2016. (Dok. T-Team)

Masih merasa asing dengan nama yang satu ini? Wah, kayanya kalian harus segera “kenalan” deh sama doi, soalnya dia adalah salah satu kiper legendaris Indonesia. Sejarah udah mencatat kalo Om Kurnia Sandy pernah merasakan atmosfer Serie-A di Liga Italia.

Yap, doi merupakan satu dari sederet nama yang pernah merasakan program pemusatan latihan jangka panjang di Italia. Beliau tergabung dalam Timnas Primavera yang berlatih di Sampdoria, Italia, 1994.

Kemampuannya di bawah mistar gawang cukup menonjol kala itu. Makanya, dia sempat mendapat kesempatan untuk masuk ke Sampdoria bersama striker legendaris Indonesia Kurniawan Dwi Yulianto dan gelandang Bima Sakti. Gokilnya, pada musim 96-97, Om Kurnia bahkan masuk tim utama sebagai kiper ke-4. Saat itu, Sampdoria masih ditangani pelatih asal Swedia, Sven-Göran Eriksson.

Sayang, sebagai kiper ke-4, Om Kurnia belum pernah mendapat kesempatan untuk tampil hingga akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Om Kurnia tercatat pernah membela Pelita Jaya dan Persikabo Bogor.

Sepulang dari Italia, Om Kurnia Sandy juga beberapa kali memperkuat timnas. Dia ikut memperkuat Timnas Indonesia saat pertama kali tampil di Piala Asia 1996.

 

3. Boaz Solossa


Ekspresi kecewa striker timnas Indonesia, Boaz Solossa, setelah gagal mencetak gol ke gawang timnas Suriah U-23 dalam laga uji coba di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu (18/11/2017).(HERKA YANIS PANGARIBOWO/TABLOID BOLA/BOLASPORT.COM)

Boaz itu buas! Sosok yang satu ini dikenal dengan kecepatan lari dan tendangan gledeknya. Yap, striker yang juga pernah menjabat sebagai kapten timnas senior ini adalah salah satu pemain terbaik Indonesia asal Tanah Papua, di Timur Indonesia.

Darah sepak bola emang udah mengalir di keluarga Boaz. Hampir semua dari mereka adalah pemain sepakbola profesional, seperti Ortizan dan Nehemia Solossa. Nah,Boaz adalah anak bungsu dari lima bersaudara.

Doi lahir di Sorong, Papua Barat, 16 Maret 1986. Nama Solossa dikenal sebagai keluarga terpandang di Provinsi Papua Barat. Kak Boaz mengawali kariernya dengan membela klub amatir PS Putra Yohan di Papua dengan status pemain binaan tahun 1999 sampai 2000. Kemudian ia pindah ke Perseru, klub amatir lainnya di Papua, pada tahun 2000 hingga 2001.

Memasuki usianya 15 tahun, cowok bernama lengkap Theofilius Erwin Solossa dipanggil untuk memperkuat Tim PON Papua. Dalam ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-16 yang diselenggarakan di Sumatera Selatan 2004, penampilan Boaz mencuri perhatian pelatih Tim Nasional Indonesia Peter White yang kemudian membawanya menuju Piala Tiger 2004 saat berusia 18 tahun.

Nah, pada 2005, Boaz mulai membela Persipura Jayapura. Doi mulai dipercaya menjadi kapten tim oleh sang pelatih. Sejak itu, Boaz selalu langganan menjadi pemain utama di Tim Nasional. Ia mengikuti beberapa laga internasional mulai dari kejuaraan tingkat Asia Tenggara, Asia, hingga kualifikasi Piala Dunia.

Kualitas yang dimiliki Boaz terbukti mampu bersaing dengan striker asing dalam urusan mencetak gol dan menjadi pencetak gol terbanyak dalam beberapa musim di Liga Indonesia. Boaz berhasil membawa tim Persipura  juara Liga Super Indonesia tahun 2005, 2009, 2011, dan 2013, dan juara lainnya.

Dari tahun ke tahun karier sepakbola Boaz semakin berkembang. Ia menjadi incaran klub-klub papan atas Indonesia. Bahkan ia sempat ditawar oleh klub asal Belanda, tapi ia menolaknya dan memilih bergabung dengan Persipura.

Setelah hampir 10 tahun bersama Persipura, ia sempat merasakan bergabung dengan klub Pusmania Borneo FC untuk menghadapi tournamen Piala Presiden 2015. Setelah itu, Boaz kembali bergabung dengan Persipura sampai sekarang.

 

4. Egy Maulana Vikri


Pemain timnas u-19 Indonesia, Egy Maulana Vikri, berduel dengan pemain timnas u-19 Jepang di Stadion Utama GBK, MInggu (25/3/2018).(MUHAMMAD BAGAS/BOLASPORT.COM)

Di era 2010-an ke atas, karir sosok dari cowok bertampang bule asal Medan ini mulai dirangkai. Yap, dia adalah Egy Maulana Vikri, kelahiran Medan, 7 Juli 2000.

Yap, Egy adalah generasi milenials yang gila sepak bola sejak kecil karena lingkungan keluarganya kebanyakan menyukai sepakbola. Egy memulai karirnya dengan mengikuti sekolah bola SSB Tasbi, Medan.

Takdir memang menuntun Egy untuk menjadi besar lewat si kulit bundar. Bakatnya semakin terlihat ketika memperkuat Asosiasi Sekolah Sepakbola Indonesia (ASSBI) Sumatera Utara pada perhelatan Grassroots Indonesia U-12 Tournament 2012 yang diadakan di Tangerang Selatan.

Dalam usia 12 tahun, Egy berhasil membawa klubnya menjadi juara sekaligus merebut gelar top skorer dengan 10 gol. Egy juga menjadi salah satu pemain yang berhasil membawa Indonesia juara pada ajang Gothia Cup di Swedia tahun 2015. Apakah itu aja? Tentu tidak, doi juga menjadi pemain terbaik pada ajang tersebut kelompok U-15. Goks!

Nah, di tahun 2016 karir Egy semakin berkilau bersama Persab Brebes. Doi sukses menjadi salah satu pemain yang diandalkan, terbukti dengan melesatkan 19 gol di kompetisi Piala Soeratin 2016 ketika memasuki  babak 16 besar.

Doi juga berhasil membawa timnya menjuarai Piala Suratin dan sekaligus menjadi pemain terbaik serta pencetak gol terbanyak pada turnamen tersebut. Semua penghargaan dibabat abis, bos!

Nggak cuma penghargaan berskala nasional, di dunia internasional nama Egy juga mulai harum. Salah satu prestasi yang membanggakanya adalah meraih Jouer Revelation Trophee pada Toulon Turnament 2017.

Panelis turnamen menilai Egy sebagai pemain paling berpengaruh di tim. FYI, gelar ini hanya diterima oleh satu pemain saja setiap tahunnya. Zinedine Zidane dan Cristiano Ronaldo pun pernah menerima piala ini.

Dia menjadi satu-satunya pemain di Turnamen Toulon yang mendapatkan Jouer Revelation Trophee walau timnya nggak lolos fase grup. Padahal, di edisi sebelumnya, minimal si pemain mesti membawa tim lolos ke semifinal. Kurang goks, apa lagi?

Julukan untuk Egy pun mulai bermunculan di media. Nah, dikabarkan pelatih Espanyol menjuluki Egy sebagai Messinya Indonesia. Hoalah….

Segala raihan prestasi tersbeut akhirnya berdampak pada nasib Egy di timnas. Doi selalu masuk dan menjadi langganan Timnas Indonesia mulai dari U-16. Nggak salah jika Indra Sjafri memilih Egy untuk masuk skuat merah putih dalam ajang AFF Cup U-18 Myanmar 2017.

Nama Egy semakin mencuat ketika berhasil menjebol gawang Myanmar berkat dua golnya bersama Timnas Indonesia di Piala AFF U-18. Namun sayang, kehebatan Egy bersama timnas Indonesia hanya meraih juara 3. Egy juga terpilih sebagai pencetak gol terbanyak pada ajang tersebut dengan total 8 gol.

 

Nah, kira-kira, bakal seperti apa kiprah Egy selanjutnya di klub dan timnas? Lalu, siapkah kalian menjadi Egy selanjutnya?

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P