Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Johannis Winar: Ahang Si Anak Layangan

By Kamis, 7 Desember 2017 | 18:17 WIB
Hendi Winar dan Yu Ling Chen, kedua orang tua Ahang. (inset: Johannis winar). (PERSIANA GALIH/BOLASPORT.COM)

Johannis Winar tak pernah direstui terjun ke dunia basket. Bagaimana pelatih Pelita Jaya ini akhirnya bisa menerima berbagai penghargaan?

Penulis: Persiana Galih

Ahang, begitu Johannis Winar kerap disapa tidak sadar benang layang-layang yang dipegangnya dari tadi sudah putus.

Mata bocah SMP ini masih menyaksikan bagaimana para sepupunya bermain basket di lapangan Flying Wheel, Makassar.

Ia ingin sekali bermain basket, tapi tak pernah mendapat izin neneknya, sang pemilik lapangan. Tapi, betapa girangnya ia ketika suatu sore sang ayah, Hendi Winar membawakannya sebuah bola basket.


Ahang (ketiga dari kiri) dan ketiga saudaranya.(PERSIANA GALIH/BOLASPORT.COM)

"Ayahnya adalah pelatih tim Sulawesi Selatan. Bola itu sepertinya dia ambil dari tim Sulsel," kata Yu Ling Chen, istri Hendi, saat ditemui BOLA di rumahnya, Jalan Laiya, Makassar, Selasa (28/11).

Meski sudah memiliki bola sendiri, anak ketiga dari empat bersaudara ini tidak boleh bermain bareng para sepupunya. Artinya, ia hanya bisa bermain waktu lapangan tak dipakai.

"Biasanya Ahang akan pulang sekolah pukul 13.00 dan bermain basket sampai pukul 15.00. Setelah itu, ia bermain layangan lagi," tuturnya.

Pada pukul 16.00, biasanya lapangan tersebut sudah ramai digunakan para sepupu Ahang.

Hari ke hari Ahang lalui dengan mencuri waktu di lapangan Flying Wheel. Sampai pada satu ketika, saat menginjak usia 18 tahun, ia dipanggil untuk membela Sulsel di Kejuaraan Nasional 1988 di Semarang.

"Ia berangkat dengan tekad tinggi dan pulang dengan membawa trofi sebagai pencetak poin terbanyak. Ahang membuktikan pada keluarganya bahwa dia memiliki bakat sebagai atlet," ujar Yu Ling.

Trofi itu tentu membuat semua orang kaget. Tak ada yang menyangka "anak layangan" itu bisa bermain basket.

Kisah manis di atas masih diingat Yu Ling jika ia memandangi trofi itu. Hingga saat ini, trofi tersebut memang masih ia simpan.

"Saya mengoleksi semua tentang Ahang, mulai dari kliping koran, tanda pengenal pemain basket, sampai trofi pertamanya. Koleksi ini akan jadi hadiah hari ulang tahun Ahang," ujarnya.

Ya, Ahang akan berulang tahun yang ke-47 pada 24 Desember.


Koleksi Yu Ling tentang Ahang. (PERSIANA GALIH/BOLASPORT.COM)

Diusir Banjar Utama

Selama tampil di Kejurnas Semarang 1988, Ahang berhasil mencuri perhatian Presiden Komisioner PT Daya Sakti Timber Group, Budhi Surya.

Perusahaan kayu pemilik tim basket Banjar Utama itu kepincut dengan kelincahan Ahang di lapangan.

Tanpa ambil pusing, Ahang menerima tawaran tim Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu. Kedua orang tuanya, Hendi dan Yu Ling, diundang Budhi untuk meninjau tempat tinggal Ahang selama di Banjarmasin.

"Itu perusahaan besar dan Ahang akan betah di sana," ujar Hendi, ayah Ahang.

Namun, selama di Banjarmasin, porsi Ahang bermain basket malah sedikit.

Ia bosan karena lebih banyak beraktivitas sebagai tenaga komputerisasi PT Daya Sakti, terutama setelah Banjar Utama tak lagi manggung di Kompetisi Liga Bola Basket Utama (Kobatama) setelah musim 1991/92.


Kontrak pertama Ahang di Banjar Utama. (PERSIANA GALIH/BOLASPORT.COM)

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pada 1996, kebosanan Ahang di Banjarmasin direspons klub Kota Bandung, Panasia Indosyntex.

Melalui sepucuk surat, Suwandi Bing Andi, Presiden Direktur PT Panasia Filament, mengutarakan bahwa ia ingin merekrut Ahang.

Saat itu, Panasia ingin kembali berjaya setelah sempat menjuarai Kobatama 1994.

"Saya tak berani bilang ke Pak Budhi tentang keinginan untuk berkarier di Bandung. Saya cuma bisa menangis dan minta tolong mami," ujar Ahang.

Baca Juga:

Singkat cerita, kedua orang tuanya kembali terbang ke Banjarmasin. Tujuannya, meminta pengertian Budhi untuk merelakan kepergian Ahang.

Meski pada akhirnya Budhi mengabulkan permintaan Ahang, perkataannya kala itu tak akan pernah Ahang lupakan. "Memang basket bisa kasih makan apa? Pergi dari sini dan saya tidak mau lihat mukamu lagi," ujar Ahang, menirukan Budhi kala itu.

Di Bandung, ia sangat bersungguh-sungguh karena ingin membuktikan bahwa basket adalah pilihan hidup yang tepat.

Setahun berada di Kobatama 1996, target Panasia menjadi kampiun direbut Aspac. Namun, waktu itu Ahang berhasil menyabet gelar most valuable player dan pencetak poin terbanyak sekaligus!

Kemudian dua tahun berturut-turut, yakni pada Kobatama 1997 dan 1998, Panasia baru bisa menuntaskan asanya sebagai raja di Indonesia.

Singkat cerita, suatu hari pada 2002, Ahang memilih meninggalkan Kota Kembang dan bergabung dengan Satria Muda.

"Waktu itu saya bertanya pada manajemen dan tim pelatih: 'Apakah tim ini masih menargetkan juara? Kalau tidak, saya pergi saja," tutur Ahang.

Di Satria Muda, ia sempat mengangkat satu trofi, yakni pada Liga Basket Indonesia (IBL) 2004.

Pada 2006, ia kembali ke Panasia, yang sudah ganti nama menjadi Garuda Bandung dengan tujuan menjadi pelatih.

Baru pada 2017 sebagai pelatih kepala ia berhasil menyabet gelar juara IBL bersama Pelita Jaya.

"Kami sekeluarga menonton Pelita Jaya main dengan deg-degan. Saya menangis bangga ketika tim itu menang," ujar Yu Ling.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P