Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Indonesian Way, inilah sebutan cetak biru pembinaan sepak bola nasional yang digodok Danurwindo dalam kapasitasnya sebagai Direktur Teknik PSSI.
Penulis: Andrew Sihombing
Seperti apa sebenarnya Indonesian Way itu? Berikut penjelasan Danurwindo dalam wawancara dengan Tabloid BOLA beberapa waktu lalu:
Apa yang menjadi fokus PSSI dan Anda saat ini?
Menurut technical report FIFA dan yang saya pelajari, negara-negara yang berhasil adalah yang punya youth development baik. Dari situlah saya berpikir mencari titik awal melangkah dalam hal pembinaan usia muda.
Demi meningkatkan level sepak bola Indonesia, kita harus punya cara bermain yang kita anut dan yakini bisa meningkatkan prestasi.
Lantas, bagaimana menentukan cara bermain ini? Faktor yang dipertimbangkan adalah kelebihan pesepak bola Indonesia, yakni kecepatan dan kelincahannya. Yang kedua adalah faktor sosiologi dan geografis.
Karakter manusia di Papua, Jawa Tengah, dan lainnya juga harus dipertimbangkan. Setelah itu, juga mempertimbangkan sepak bola modern yang cepat, tempo tinggi, dan kualitas teknik bagus.
Dari sinilah pertimbangan menyusun Indonesian Way, bukan karena kita ingin bermain seperti Spanyol atau Jerman.
Siapa yang menjadi sasaran penerapan Indonesian Way?
Indonesian Way ditujukan kepada pesepak bola usia muda agar mereka memiliki dasar yang kuat. PSSI sudah membuat pembagian kelompok umur Indonesian Way. Usia 6-9 tahun disebut pengenalan alias fun phase di mana anak bermain bola untuk bergembira.
Kemudian umur 10-13 disebut skill development. Usia ini cocok untuk pengembangan skill karena merupakan usia emas belajar. Lalu, usia 14-17 merupakan game phase atau aplikasi skill ke Indonesian Way dalam menyerang, bertahan, dan transisi.
Jadi, Indonesian Way ini bisa disebut kurikulum sepak bola nasional?
Betul. Indonesian Way ini adalah cara bermain yang hendak kita adopsi. Kita punya keinginan cara bermain dalam Indonesian Way, tapi baru bisa tercipta bila ada yang mendukung.
Kurikulum inilah yang mendukung. Dalam kurikulum ini ada cara menyerang, bertahan, dan transisi. Selain itu, juga ada formasi 4-3-3.
Kenapa 4-3-3? Karena inilah yang kita anggap paling tepat untuk menerapkan menyerang dan bertahan. Tapi, 4-3-3 ini untuk pemain senior. Bagaimana untuk bisa sampai ke sana? Di umur 11-12, kita menyederhanakan bagan formasi 4-3-3 menjadi permainan empat lawan empat dan tujuh lawan tujuh.
Di kelompok umur 6-9, anak-anak tetap bermain untuk bergembira, tapi diberi pemahaman struktur empat lawan empat dalam bentuk diamond. Saat tujuh lawan tujuh, berubah menjadi dua diamond.
Nanti di usia 14-17 baru masuk ke 4-3-3. Rangkaian ini sudah harus berkesinambungan.
Bagaimana cara bermain yang disebut Indonesian Way?
Menyerang dengan berbasis pada penguasaan bola. Tapi, kita ingin menguasai bola dengan proaktif. Prioritas penguasaan bola harus lebih banyak ke depan. Tim harus bisa membangun serangan dari bawah.
Soal bertahan, kita ingin menerapkan zonal marking. Pemain juga harus diajarkan kapan menekan di depan dan kapan mengorganisasi pertahanan di tengah.
Begitu kehilangan bola, prioritas pertama adalah merebut bola secepat mungkin. Tapi, kalau tidak bisa, tim mesti mereorganisasi pertahanan. Hal ini yang dinamakan transisi negatif. Transisi positif adalah ketika berhasil merebut bola saat lawan menyerang.
Hal pertama yang mesti dilakukan dalam situasi ini adalah counter attack. Tapi, kalau tidak bisa karena lawan sudah bagus dalam bertahan, kita mesti membangun ulang serangan.
Pemain Indonesia biasanya bermain dengan insting, bukan sistem permainan tim. Apakah ini bisa menjadi kendala?
Sepak bola modern saat ini disebut sebagai soccer intelligence atau sepak bola yang cerdas. Pada zaman saya, sepuluh tahun kemudian, dan sampai sekarang, sepak bola Indonesia lebih mendahulukan kaki daripada kepala. Padahal, sekarang mestinya kepala lebih dulu dibanding kaki.
Banyak pemain Indonesia punya teknik yang bagus, tapi tidak tahu kapan mempergunakannya dalam keadaan under pressure di lapangan. Itu sebabnya pemain kita kurang jeli membaca permainan dan cepat kehilangan bola. Kurikulum ini merupakan cara memperbaiki kekurangan tersebut.
Di usia 6-9 dan 10-13, pemain banyak latihan 4 lawan 4 serta 7 lawan 7. Lapangan dibuat terbatas dengan jumlah pemain terbatas dalam latihan. Latihan juga sudah menyeluruh meliputi teknik, taktik, dan conditioning.
Sudah tidak terpisah-pisah lagi. Dalam lapangan yang terbatas dan ada teman serta lawan, pemain selalu dihadapkan pada situasi harus mengambil keputusan.
Kita ingin membuat pemain yang cerdas. Di dalam latihan dengan situasi terbatas, pemain dipaksa mengikuti situasi yang berubah-ubah.
Dalam rencana Anda, butuh berapa lama hingga bisa mengatakan Indonesian Way sudah benar-benar diterapkan?
Menurut penelitian, untuk bisa menjadi seperti Lionel Messi membutuhkan waktu belajar 10 tahun. Mengenai pertanyaan tadi, saat ini kita sudah memulai dari fase 9-17 tahun.
Artinya, paling tidak pemain sudah harus belajar selama 7 tahun. Itu pun mesti belajar dalam proses yang benar, baik metode latihan maupun cara bermain.
Yang tak kalah penting adalah kompetisi reguler. Anak usia 15-17 tahun butuh bermain sebanyak 25 kali dalam setahun. Ini juga harus memenuhi syarat untuk bisa menciptakan pemain yang baik.
Pemain yang baik didapat dari latihan yang baik dan kompetisi yang baik dan berkualitas dan juga pelatih yang berkualitas.