Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Jerman Bukan Penganut Sistem Kebut Semalam

By Lariza Oky Adisty - Selasa, 4 Juli 2017 | 12:45 WIB
Para pemain timnas Jerman merayakan kesuksesan menjuarai Piala Konfederasi 2017 seusai menaklukkan Cile pada final di Saint Petersburg, Rusia, 2 Juli 2017. (BUDA MENDES/GETTY IMAGES)

Hanya butuh jeda sehari untuk Jerman menjuarai dua turnamen sepak bola di dua level umur berbeda. Namun, tentu keliru menganggap gelar combo Piala Eropa U-21 dan Piala Konfederasi 2017 bisa terwujud dengan sistem kebut semalam.

Kejadian ini bukan pertama kali Jerman mengukir prestasi pada level usia berbeda di tahun kompetisi yang sama.

Pada 2014, Jerman malah juara di tiga ajang: Piala Dunia 2014 (tim nasional senior), Piala Eropa U-19, serta Piala Dunia Wanita U-20.

Ada hal yang membuat dua gelar tahun 2017 ini direken istimewa: Jerman juara Piala Eropa U-21 dan Piala Konfederasi 2017 tidak turun dengan kekuatan terbaik.

Pelatih Die Mannschaft, Joachim Loew, meliburkan pemain andalan seperti Manuel Neuer, Mesut Oezil, Toni Kroos, dan Thomas Mueller.

Baca Juga:

Dia memercayai nama-nama seperti Marc-Andre Ter Stegen, Timo Werner, atau Julian Brandt. Ban kapten bahkan disandang Julian Draxler yang belum genap 24 tahun.

Di kubu U-21? Sama saja. Pelatih Stefan Kuntz tampil tanpa Brandt, Werner, Joshua Kimmich, Leon Goretzka yang "dipinjam" untuk Piala Konfederasi, serta Julian Weigl, Leroy Sane, dan Jonathan Tah yang cedera.

Toh, tim senior dan junior sama-sama menang. Jerman seperti ingin menunjukkan kedalaman skuat mereka yang bisa membuat iri banyak tim.

Situs Bundesliga.com bahkan menunjukkan kalau Jerman bisa menurunkan empat formasi berbeda dengan skuat yang mereka punya sekarang.

Pertanyaannya, kenapa Jerman seperti tidak pernah kehabisan pemain muda potensial? Jawaban paling masuk akal mungkin adalah karena mereka sudah bersiap sejak lama.

Bagaimanapun, kita bicara soal negara yang terkenal dengan karakteristiknya yang rapi, teratur, dan terorganisasi.

Jerman bukan Bandung Bondowoso yang percaya bisa membangun Candi Prambanan dalam semalam, atau mahasiswa yang berharap mendapat nilai A di ujian akhir meski hanya belajar sehari sebelumnya.

Hal sama berlaku di sepak bola mereka, terutama setelah Piala Eropa 2000 ketika Die Mannschaft tersingkir di fase grup.

Sejak saat itu, ada perubahan. Mulai 2003, Jerman mengenalkan program pengembangan pemain muda yang mencakup 366 wilayah di Jerman.

Anak-anak usia 8-14 dilatih oleh pelatih dari Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) yang sudah punya lisensi kepelatihan.