Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Liga 1 baru berjalan empat pekan, tetapi tiga pelatih sudah kehilangan pekerjaan. Mereka adalah Hans-Peter Schaller (Bali United), Laurent Hatton (PS TNI), dan Timo Scheunemann (Persiba Balikpapan).
Kejamkah kompetisi kasta teratas Liga Indonesia itu? Untuk menjawabnya, coba bandingkan dengan tren alternasi di liga top Eropa seperti Premier League dan Serie A.
Di Premier League saja, pergantian manajer untuk musim 2016-2017 baru terjadi ketika pekan ketujuh rampung.
Francesco Guidolin menjadi alfa setelah didepak Swansea City pada Oktober 2016. Alasannya cenderung logis mengingat tim beralias The Swans menelan lima kekalahan dalam tujuh partai.
Begitu pula Serie A, yang cuma memamerkan satu pemecatan pelatih dalam tiga pekan pertama. Itu pun tidak mengherankan karena terjadi di Palermo, di mana ada Presiden Maurizio Zamparini yang gemar memecat juru taktik.
Baca juga: Badai PHK di Premier League
Lalu, untuk gelombang pergantian di Liga 1, apa pasalnya?
Bali United dan Persiba Balikpapan memiliki cenderung alasan rasional, yakni serangkaian hasil negatif pada awal kompetisi. Hans-Peter didepak karena Bali United gagal meraup poin dalam dua pertandingan. Adapun Timo memutuskan mundur dengan alasan yang sama setelah tiga laga.
"Ini musim kemarau. Namun, musim hujan segera datang," kata Timo setelah pengunduran dirinya, Selasa (2/5/2017).
Baca juga: Timo Scheunemann Mengundurkan Diri, Bukan Dipecat oleh Persiba Balikpapan
FT ???? 0-1 ????
— Labbola (@labbola) May 1, 2017
?? Dedik Setiawan 70'@AremafcOfficial catat 3 clean sheets beruntun@persibafc_media 3 kalah beruntun#Liga1Stats #BPNARM pic.twitter.com/nlmitdXH6n
Hanya, untuk PS TNI, apakah posisi keenam berbekal raihan lima poin dari tiga partai tergolong buruk? Tidak adakah toleransi saat Abduh Lestaluhu cs kehilangan empat poin melawan dua tim kuat, Persib Bandung dan Borneo FC?
Mengesampingkan pergantian manajemen dan nilai plus Ivan Kolev selaku suksesor, penuturan Presiden PS TNI Brigjen A AB Maliogha mungkin bisa menjadi jawaban dua pertanyaan di atas.
Saat mengumumkan Ivan Kolev sebagai suksesor Hatton, sang patron menyatakan, "Target kami sudah jelas, harus nomor satu."
Tekanan uang
Sikap perfeksionis tidak cuma terlihat dari manajemen klub seperti PS TNI, tetapi juga suporter fanatik macam bobotoh, pendukung Persib Bandung.
Jagat Twitter langsung dibanjiri tagar #DjanurOut setelah Persib ditahan imbang 2-2 di kandang PS TNI, Jumat (21/5/2017). Padahal, pelatih Djadjang Nurdjaman baru menjalani dua laga Liga 1 yang selalu berakhir imbang, bukan kalah.
Belum hilang dari ingatan pula bahwa berkat Djanur, Persib mengakhiri puasa gelar liga selama 19 tahun pada 2014. Lewat tangan dingin pelatih yang pernah menimbang ilmu di Inter Milan itu, Persib juga memenangi Piala Presiden 2015.
Lantas, mengapa kultur di Liga 1 begitu "kejam" dalam menghakimi pelatih?
Agaknya bisa dimaklumi mengingat dimensi uang di dalamnya. Arus pengeluaran dari kas semakin deras setelah PT Liga Indonesia Baru menerapkan kebijakan bertajuk marquee player.
Sudah 15 klub dari 18 klub kontestan Liga 1 mengontrak marquee player untuk musim 2017. Persib, PS TNI, Persiba, dan Bali United termasuk di dalamnya.
Baca juga: Siapa Saja Marquee Player untuk Liga 1 Musim 2017?
Bahkan, Persib mengikat dua marquee player sekaligus, Michael Essien dan Carlton Cole.
Untuk gaji Essien saja, klub berjulukan Maung Bandung mengucurkan dana antara Rp 8,5 miliar sampai Rp 10 miliar per tahun. Cole dan 14 pemain mewah lainnya diprediksi menerima bayaran lebih rendah daripada Essien.
Sebagai perbandingan, rekor gaji tertinggi sebelum ada kebijakan marquee player "cuma" mencapai Rp 2,5 miliar per tahun.
Baca juga: Menanti Pembuktian Nama Tengah Essien di Persib Bandung
Dengan pemain mewah bergaji selangit, klub Liga 1 tentu tidak rela sekadar berkutat di papan tengah, apalagi terbenam di zona merah.
Nahkoda pun menjadi korban ketika hasil tidak sesuai harapan, meskipun jumlah pertandingan masih bisa dihitung dengan satu tangan.
Risiko itu memang tidak terhindarkan. Bahkan, tidak sedikit pelatih pula yang melihat pemecatan sebagai konsekuensi lumrah, contohnya Rahmad Darmawan (RD) yang kini berkarier di Malaysia.
Berdasarkan pengalamannya bersama T-Team FC, RD menilai bahwa gelombang pemecatan juga menjadi sesuatu yang jamak di kompetisi sepak bola Negeri Jiran.
Saat Jacksen F Tiago didepak Penang FA pertengahan tahun lalu, dia juga sempat mengatakan, "Itulah dinamika pelatih klub sepak bola, menggelinding sesuai keinginan yang mau menendang."
Dinamika serupa kini tengah terjadi di Tanah Air RD.
Baca juga: Ibu yang Menyeka Keringat dan "Bisikan" Ayah di Balik Wasit Terbaik