Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sejak resmi berkarier sebagai pelatih pada 2009, Mauricio Pochettino memegang teguh filosofi dalam bersepak bola, yaitu percaya pada pemain muda.
Penulis: Theresia Simanjuntak
Espanyol merupakan klub pertama yang Pochettino latih, tepatnya dari Januari 2009 hingga November 2012. Lantas, pada awal 2013 ia mengasuh Southampton sebelum hijrah ke Tottenham pada musim panas 2014.
Di tiga klub itu, Pochettino tidak ragu menurunkan pemain muda di bawah usia 23 tahun, bahkan yang masih berusia belasan tahun. Ketika masih melatih Espanyol, dia memberikan debut La Liga kepada gelandang Paul Quaye, yang kala itu berumur 16 tahun, 5 bulan, dan 24 hari!
Terkait Tottenham, klub itu memiliki rataan usia pemain termuda di Premier League untuk tiga musim beruntun. Artinya, rekor tersebut selalu tercipta sejak mereka dipimpin oleh Pochettino.
Pada musim ini, rata-rata usia awak Tottenham di Premier League atau kasta tertinggi Liga Inggris hingga pekan ke-33 adalah 25,3 tahun dengan gelandang Josh Onomah menjadi pemain termuda mereka musim ini.
"Saya tidak takut menurunkan para pemain muda. Tidak peduli apakah mereka berusia 17, 18, 19, atau 20, semua sama saja. Jika mereka pantas bermain, punya karakter, dan kedewasaan untuk diberi tanggung jawab, maka mereka akan bermain," ujar pelatih berusia 45 tahun itu di Sky Sports.
Secara khusus, pemain muda yang masuk kriteria filosofi Pochettino adalah pemain lokal. Berhubung sekarang bekerja di Tottenham, ia menggenjot para pemuda Inggris di klub itu.
Tak heran bila Lili Putih belakangan memiliki pemain lokal yang mencuat berkat tangan dingin Pochettino. Beberapa di antaranya adalah Harry Kane, Dele Alli, dan Eric Dier.
Diakui Pochettino, filosofinya terinsipirasi class of 1992 Manchester United era Sir Alex Ferguson. Generasi termasyhur Iblis Merah itu beranggotakan jebolan akademi klub: Ryan Giggs, Gary Neville, Paul Scholes, David Beckham, Phil Neville, dan Nicky Butt.
Mereka bikin United merajai Inggris dan Eropa selama lebih dari satu dekade.
"Sir Alex menciptakan talenta muda dari akademi, menciptakan dasar dari sebuah tim yang memenangi segalanya. Dia contoh yang baik buat saya," katanya.
Pria asal Argentina itu melanjutkan, "Sejak hari pertama saya tiba di Inggris, saya telah katakan bahwa yang paling penting adalah percaya pada bakat muda Inggris. Yang jadi masalah di Inggris empat tahun terakhir adalah menunjukkan bahwa negeri ini memang punya talenta."
Pernyataan yang masuk akal dari Pochettino mengingat banyak klub sepak bola, termasuk di negeri Ratu Elizabeth II, yang memilih menghabiskan banyak uang untuk membeli 'pemain jadi' ketimbang mengembangkan produk akademi sendiri demi merengkuh gelar.
Baca Juga:
Dampak Kolektif
Pada umumnya, alasan mengapa sedikit pelatih berani menurunkan pemain muda adalah karena dampak pada prestasi klub. Orang-orang lebih meyakini bahwa semakin banyak pengalaman seorang pemain, maka semakin banyak pula hal-hal baik yang dapat diberikan pada klub.
Akan tetapi, sejauh ini, Pochettino memperlihatkan prestasi manis dengan filosofinya tersebut. Lihat saja bagaimana Tottenham selalu berakhir di lima besar klasemen akhir Liga Inggris pada tiga musim terkini di mana dua musim terakhir mereka merupakan penantang titel liga.
Sebelum bersama Tottenham, Pochettino telah membuktikan jitunya prinsip melatih ala dirinya.
Pada 2008-2009, ia membawa Espanyol finis di urutan ke-10 klasemen akhir La Liga. Padahal, tim itu berada di posisi tiga terbawah saat ia mengambil alih kursi kepelatihan dari Jose Manuel Esnal pada Januari 2009.
Di Southampton, Pochettino memimpin klub itu ke peringkat delapan klasemen akhir Liga Inggris 2013-2014, posisi tertinggi klub sejak 2002-2003.
Prinsip sepak bola Pochettino memang telah terbukti memperbaiki performa tim yang ia asuh. Tinggal bagaimana ia mengonversikan filosofi tersebut menjadi gelar.
Apabila Pochettino berhasil, maka akan semakin banyak orang yang akhirnya percaya bahwa pemain muda adalah modal kesuksesan sebuah klub, bukan uang semata.