Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Luis Enrique mengaku kelelahan melatih Barcelona. Barangkali bukan didominasi keletihan fisik mengingat sang bos Barcelona itu adalah penggila olahraga penguras stamina.
Penulis: Rizki Indra Sofa
Rekam jejak Luis Enrique luar biasa kalau tak mau disebut gila.
Enrique pernah berpartisipasi di New York Marathon; Quebrantahueso Gran Fondo (QBH), olahraga gila bersepeda 200 km di Pegunungan Pyrenees; Frankfurt Ironman (10 jam triatlon); sampai Sables Marathon (255 km melalui gurun Maroko dengan menggendong beban 10 kg!).
Tapi, di antara hal itu semua, tak ada yang lebih melelahkan dibandingkan duduk di ruang kerja, beberapa jam di sesi latihan, serta beraksi di tepi lapangan, memikirkan caranya dan memandu para pemain Barcelona supaya tetap berprestasi.
Kegemaran Enrique berolahraga gila barangkali menunjukkan karakternya yang fokus, pekerja keras, ulet, tapi memilih olahraga individual, yang solusi semua problemnya mungkin hanya bisa ditemukan atau muncul dari diri sendiri.
Di Barcelona, dia tak bisa seperti itu. Dia adalah pemimpin dari pemain-pemain kelas dunia, baik itu yang sudah lebih dulu berada di klub maupun didatangkan pada eranya.
Mereka punya ego masing-masing dan tugas Enrique untuk memastikan segalanya berjalan baik.
Lebih melelahkan ternyata ketimbang petualangan dari New York, Pyrenees, Frankfurt, sampai ke Maroko. Masalah datang silih berganti di Barcelona, tapi dengan opsi jalan keluar terbatas.
Pengaruh Bintang
Dalam kamus Barcelona, siapa pun pelatih, kesuksesan haruslah datang secara instan. Kekuatan skuat, dengan Lionel Messi sebagai megabintang, memungkinkan hal itu terjadi.
Baca Juga:
Begitu pula dengan kasus Enrique. Saat dia menggantikan Gerardo Martino, tim Barca sudah sangat kuat.
Tapi, Enrique paham Barcelona sedang bergerak, pelan-pelan mencari metode baru dari tiki-taka yang sudah menjadi trademark klub sebelum era Pep Guardiola.
Karena alasan itu, Enrique menjadi salah satu pelatih paling boros di Camp Nou.
Ia menghabiskan sekitar 343 juta euro (setara 1,6 triliun rupiah), atau 114 juta euro per tahun, untuk investasi pemain baru di posisi-posisi yang dicap sebagai kelemahan Blaugrana.
Musim pertamanya bertanggung jawab di Camp Nou, manajemen Barcelona mengeluarkan hampir 170 juta euro buat membeli Luis Suarez (82 juta euro), Jeremy Mathieu (20), Thomas Vermaelen (19), Ivan Rakitic (18), Claudio Bravo (12), Marc-Andre Ter Stegen (12), sampai Douglas Costa (4).
Setahun berselang, dalam lilitan sanksi FIFA, transaksi lebih minim, cuma mendatangkan Arda Turan (34 juta euro) dan Aleix Vidal (25). Awal musim ini lebih menggila.
Barca mendatangkan Andre Gomes (35), Paco Alcacer (30), Samuel Umtiti (25), Lucas Digne (16,5), Jasper Cillessen (13), sampai memulangkan Denis Suarez (3,5). Total 16 pemain dibeli Barca era Enrique.
Cuma tiga yang kini pergi. Douglas dan Vermaelen dipinjamkan, Bravo dibeli Man City. Sebagian menjadi bintang tim, seperti Suarez, Rakitic, Ter Stegen, Arda, dan generasi Umtiti.
Mereka layak berterima kasih kepada Enrique lantaran memungkinkan peluang bergabung ke Barca. Tapi, para pemain ini tak akan serta-merta mengikutinya ketika ia meninggalkan Catalonia.
Ya, harus diakui dan seperti memang dikondisikan, nama Barcelona akan selalu lebih besar ketimbang Enrique.
Kepergian sang pelatih tidak akan menimbulkan gelombang eksodus pemain dari dalam tim, apalagi mereka yang sudah berstatus bintang lama di klub seperti Lionel Messi, Neymar, Gerard Pique, atau Sergio Busquets.
Loyalitas mereka diberikan buat simbol di dada, Barcelona, bukan kepada pelatihnya.
Memang, selalu ada pemain yang memiliki ikatan lebih dengan pelatihnya, seperti Thiago Alcantara yang mengikuti Pep Guardiola ke Bayern Muenchen, tapi kasus seperti itu jarang.
Tentu saja, pada akhir musim nanti, bisa dipastikan bukan hanya Enrique yang pergi, melainkan juga beberapa pemain, barangkali ada yang berkategori bintang.
Tetapi, hal itu rasanya lebih kepada isu kebutuhan pelatih mendatang ketimbang pengaruh keputusan dari Enrique.