Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pada Desember 2016, FIFA menyebut China hanya memiliki sekitar 25 ribu pemain sepak bola. Angka itu sudah terlihat minim, apalagi jika melihat China merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.
Penulis: Dwi Widijatmiko
Data 2016 menunjukkan populasi China adalah hampir 1,4 miliar orang. Perbandingan antara pemain sepak bola dan jumlah penduduk China terlalu kecil.
Bandingkan dengan beberapa negara Amerika Selatan, di mana satu dari empat penduduknya memainkan sepak bola.
Dari situ sudah kelihatan bahwa China sebetulnya bukan negara sepak bola. Mereka tidak memiliki tradisi melahirkan pemain-pemain bagus secara kontinu.
Baca juga:
Lemahnya sumber daya manusia China dalam sepak bola juga bisa dilihat dari minimnya pemain Negeri Tembok Besar yang kualitasnya diakui klub-klub top dunia.
Memang ada banyak pemain China yang pernah merumput di Eropa, tetapi rata-rata bukan di klub top yang identik bersaing di level sepak bola tertinggi.
Sebut saja pemain paling beken yang pernah dimiliki China. Hao Haidong cuma membela Sheffield United, Fan Zhiyi di Crystal Palace dan Dundee, Li Tie di Everton, dan Sun Jihai di Manchester City, yang belum menjadi klub kaya setelah dibeli Abu Dhabi United Group.
Bandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan. Jepang punya Hidetoshi Nakata, yang pernah meraih scudetto di Serie A bersama Roma.
Korsel malah memiliki Park Ji-sung, legenda yang pernah menjadi bagian skuat Manchester United yang menjuarai Premier League dan Liga Champion.
Wajib Pemain Muda
Presiden China, Xi Jinping, melihat masalah ini. Tidak mungkin rencananya menjadikan China sebagai negara superpower dalam sepak bola yang mampu menjuarai Piala Dunia berhasil jika China tidak memiliki pemainpemain yang bagus.
Karenanya, selain memewahkan Liga Super China, Presiden Xi juga punya program memantapkan fondasi produksi pemain lokal.
Dia ingin melahirkan 100 ribu pemain dengan menginjeksikan uang ke sepak bola akar rumput, menciptakan 20 ribu sekolah sepak bola baru, dan membangun 70 ribu lapangan. Program itu diharapkan tercapai pada tahun 2020.
Sedikit banyak program itu mirip dengan yang sedang coba dilakukan Indonesia. Kepengurusan baru PSSI di bawah Edy Rahmayadi juga berniat fokus pada pembinaan usia dini.
Terhadap Liga Super China, aksi juga dilakukan untuk mendongkrak kapasitas pemain lokal.
Sekali lagi, aksi yang diharapkan bisa berhasil secara instan itu juga mirip dengan apa yang dilakukan di Indonesia.
Mulai kompetisi 2017, Liga Indonesia mengurangi jumlah pemain asing. Dari sebelumnya tiga pemain asing non-Asia plus satu pemain asing Asia (3+1) menjadi 2+1. Diharapkan dengan perubahan itu, kesempatan buat pemain lokal menjadi lebih besar.
Bukan itu saja, kompetisi 2017 juga mewajibkan klub mendaftarkan lima pemain U-23 dengan tiga di antaranya wajib dimainkan di setiap pertandingan.
Aturan yang lebih kurang sama diberlakukan di Liga Super China mulai tahun ini.
Seperti sebelumnya, klub-klub masih diizinkan memiliki lima pemain asing dengan komposisi empat dari negara non-Asia dan satu dari negara Asia yang lain (4+1).
Tetapi, jika musim lalu yang boleh dimainkan adalah 3+1, sekarang hanya tiga pemain asing yang boleh dimainkan klub-klub Liga Super China. Jumlah itu sudah termasuk pemain asing dari Asia.
Klub juga diwajibkan mendaftarkan minimal dua pemain lokal yang berusia di bawah 23 tahun atau lahir pada/setelah 1 Januari 1994.
Minimal salah satu dari dua pemain U-23 itu harus masuk starting XI tim di setiap pertandingan.
Bisa ditebak, tujuan perubahan itu adalah membuat semakin banyak pemain muda China yang merasakan bermain bersama atau melawan bintang-bintang top yang didatangkan klub.