Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Respons terhadap rencana PSSI mewajibkan tercantumnya minimal lima pemain U-23 di tim senior, dengan tiga di antaranya tampil sebagai starter pada kompetisi musim 2017, sedikit-banyak telah membuka mata soal fakta pahit bal-balan nasional.
Penulis: Andrew Sihombing
Pembinaan pemain rupanya masih sekadar jargon yang tak betul-betul diterapkan. Lihat saja betapa repotnya sejumlah kontestan kasta teratas memenuhi draft regulasi tersebut.
Bahkan tim seperti Arema Cronus, yang dikenal memiliki akademi junior cukup oke, harus mendatangkan pemain muda semacam Hanif Sjahbandi, Bagas Adi Nugroho, dan M Rafli dari klub lain.
Kondisi serupa terjadi di klub-klub lain. Madura United misalnya, memboyong mantan penggawa timnas Indonesia U-19 dan kapten terbaik dalam turnamen Milan Junior Camp Day 2010, Eriyanto, dari PSIR Rembang.
Darah muda lain semisal Tanjung Sugiarto dan Fredi Jeferson Isir juga diboyong ke Madura United.
Klub ibu kota Persija malah lebih ironis. Alih-alih memaksimalkan amunisi dari klub internal, Macan Kemayoran malah menggelar seleksi untuk pemain U-23 ke beberapa kota.
Kondisi ini dikhawatirkan memunculkan pemain karbitan. Yang dimaksud tentulah pemain U-23 yang sebenarnya belum cukup layak tampil di kompetisi level teratas, tapi terpaksa dimainkan demi basa-basi regulasi.
"Bila pemain U-23 yang sebenarnya belum cakap dipaksakan menjadi starter di level Liga Super, bagaimana jadinya nanti kualitas kompetisi kasta teratas Indonesia," kata eks bomber andalan timnas Indonesia yang kini menukangi Persita Tangerang, Bambang Nurdiansyah, di Forum Diskusi BOLA pada Rabu (25/1/2017).
Bina Pelatih
Banur, sapaan Bambang, tidak memungkiri regulasi ini bisa berdampak positif bagi bertambahnya pemain muda bertalenta untuk timnas. Hanya, dengan mengambil contoh pengalaman saat masih aktif bermain, Banur menyoroti mental pemain muda bila dipaksakan tampil di ajang penuh tekanan.
"Jangankan memakai seragam timnas, dulu tidak gampang bagi pemain menembus tim utama di level klub. Mereka harus lebih dulu bersaing di internal klub," ucap Banur.
"Mutu kompetisi Galatama dulu sangat baik karena secara tidak langsung ada pematangan di daerah dan klub masing-masing. Proses ini yang menjadikan pemain betul-betul siap saat tampil di kasta teratas," ujarnya.
Baca Juga:
Karenanya, selain mengawasi pelaksaan regulasi pemain U-23 agar betul-betul tepat guna, Banur juga berharap federasi fokus pada pembinaan berjenjang. PSSI sebelumnya memang telah melemparkan niat memutar kompetisi di kelompok usia 15, 17, dan 19 tahun dengan lebih teratur.
"Dari pembinaan seperti itu nantinya otomatis akan tersaring pemain yang memang layak tampil di kasta teratas bersama tim profesional," ucap pria berusia 58 tahun tersebut.
Hanya, Banur juga berharap PSSI tidak sekadar fokus pada kompetisi di level akar rumput. Menurutnya, program pembinaan usia muda sebaik apapun tidak akan berhasil tanpa kehadiran pelatih berkualitas di level tersebut.
"Jangan mentang-mentang kompetisi kelompok umur, lantas lapangan tidak memadai atau tim itu ditukangi oleh orang yang baru belajar melatih," tutur Banur.
"Bicara soal pembinaan, pelatih juga jangan dilupakan. PSSI harus mempermudah siapapun dalam hal lisensi kepelatihan. Pemain yang sudah punya nama juga boleh disiapkan menukangi tim kelompok umur," katanya.