Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Ini Pembeda Pelatih Asing dan Lokal di Timnas Indonesia

By Kamis, 19 Januari 2017 | 14:37 WIB
Striker timnas Indonesia, Irfan Bachdim (kiri), merayakan gol dengan rekan setimnya, Boaz Solossa, usai mencetak gol ke gawang Malayisia dalam laga uji coba di Stadion Manahan, Solo, pada Selasa (6/9/2016). (KUKUH WAHYUDI/BOLA/JUARA.NET)

Komunikasi dan adaptasi merupakan dua kendala yang paling mencolok dalam perbandingan kinerja pelatih lokal dan asing di tim nasional Indonesia. Kedua hal itu bisa menghambat proses interaksi serta kedekatan emosional dengan para pemain.

Penulis: Indra Citra Sena/Ferry Tri Adi Sasona/Budi Kresnadi/Ovan Setiawan/Suci Rahayu

Hendro Kartiko pernah mengalaminya. Kiper tangguh timnas era 2000-an ini sempat berada di bawah komando Benny Dollo (2000-2001; 2008-2010), Ivan Kolev (2002-2004; 2007), hingga Peter Withe (2004-2007).

“Alhamdulillah, saya sudah mengalami kepemimpinan tiga pelatih tersebut di timnas. Pelatih lokal tentu lebih nyambung soal teknis karena dia paham betul kultur pemain-pemain Indonesia. Kami pun bisa cepat beradaptasi,” kata Hendro kepada Tabloid BOLA.

Namun, penjaga gawang yang menghabiskan sebagian besar karier profesionalnya di Persebaya Surabaya dan Persija Jakarta ini tak ketinggalan membeberkan sisi positif pelatih asing berdasarkan pengalaman pribadi.

Baca juga:

“Pelatih asing itu kebanyakan tegas dan keputusannya tak dapat diganggu gugat. Kadang-kadang, pemain yang harus beradaptasi dengan karakter mereka, tetapi sikap menjunjung tinggi kedisiplinan patut diacungi jempol,” ujar Hendro.

Di lain pihak, Maman Abdurrahman selaku pemain timnas periode 2006-2010 punya penilaian berbeda.

Bek yang kini memperkuat Persija tersebut memiliki kesan tersendiri sewaktu dilatih Benny Dollo (2008-2010) dan Alfred Riedl (2010).

“Sebetulnya tidak terlalu jauh berbeda antara pelatih lokal dengan lokal. Mungkin yang membedakan adalah pelatih asing cenderung lebih percaya sama pemain minim pengalaman serta pemain belia,” ucap Maman.

Maman menjelaskan, pelatih asing menyukai pemain yang selalu bekerja keras di waktu latihan.

Pemain tersebut lebih bernilai di mata pelatih ketimbang pemain berstatus senior yang kurang gereget saat berlatih atau bertanding.

“Entah dia itu pemain minim pengalaman, muda atau tua, bila bagus saat berlatih biasanya pelatih asing pasti memberi kepercayaan. Pelatih lokal kurang berani dan kurang percaya dengan pemain-pemain yang baru muncul,” kata Maman.

Maman tak asal ucap karena statistik membuktikan Riedl sering menaruh kepercayaan besar kepada pemain minim pengalaman dalam tiga kesempatan menukangi Indonesia di Piala AFF (2010, 2014, 2016).

Pada Piala AFF 2010, setidaknya Riedl mengorbitkan lima pemain yang jumlah penampilan bareng timnas masih di bawah dua digit, seperti Mohammad Nasuha (6), Okto Maniani (5), Ahmad Bustomi (5), Yongki Aribowo (4), dan Zulkifl i Syukur (3).

Kebiasaan ini berlanjut di Piala AFF 2014 dan 2016, di mana pria berkebangsaan Austria itu memanggil Ramdani Lestaluhu, Rizki Pora, Manahati Lestusen, Evan Dimas (2014), Abduh Lestaluhu, Yanto Basna, Lerby Eliandry, Bayu Pradana, dan Hansamu Yama (2016).

Jika ditarik ke belakang, pemain era 2000-an itu tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan pemain timnas pada 1980-an dan 1990-an.

Robby Darwis, misalnya, yang sempat diasuh Bertje Matulapelwa dan Anatoli Polosin, mengatakan bahasa dan kultur menjadi faktor penting.

“Bahasa dan kultur menjadi faktor penting. Bayangkan ketika itu ada dua liga, yaitu Galatama dan Perserikatan. Keduanya harus disatukan menjadi satu timnas. Pelatih lokal tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan kondisi itu. Kalau pelatih asing, kami sama-sama beradaptasi. Dia beradaptasi dengan kultur kita, sedangkan kami kudu beradaptasi dengan gaya dan kultur dia,” ujar Robby.

Meski demikian, Robby memuji dua pelatihnya tersebut. Baik Bertje maupun Polosin sudah menanam fondasi buat sepak bola Indonesia.

“Materi latihan hampir sama, hanya penekanannya yang berbeda. Polosin lebih fokus kecepatan dan kekuatan, sedangkan Bertje fokus soal teknis. Keduanya pelatih yang punya konsep dan mau terjun langsung merekrut serta menangani tim,” katanya.

Setali tiga uang dengan apa yang dikatakan Aji Santoso. Eks bek kiri timnas itu pernah dipoles lima pelatih asing dari mulai Polosin, Ivan Toplak, Romano Matte, Henk Wullems, dan Bernhard Schumm.

“Kelimanya jelas punya gaya berbeda. Waktu Polosin, ia menutupi keterampilan individu tim yang kurang dengan menggeber latihan fisik, sedangkan Romano menerapkan variasi taktik serangan dan bertahan,” ujar pelatih Arema itu.

Berbeda dengan Wullems dan Schumm, kata Aji Santoso. "Keduanya memasukkan ilmu sepak bola modern. Mereka juga bagus melakukan pendekatan ke pemain,” ucap Aji.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P