Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Sepak Bola Nusa Tenggara Timur Nyaris Terlupakan

By Kamis, 12 Januari 2017 | 04:33 WIB
Penyerang Yabes Roni (11) dan Silvio Escobar merayakan gol tunggal Bali United ke gawang PS Polri di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Minggu (27/3/2016). (HERKA YANIS PANGARIBOWO/BOLA/JUARA.NET)

Saat Yabes Roni Malaifani mencuat di pentas sepak bola nasional, tidak ada yang menyangka ia berasal dari Kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Persoalannya, Alor dan NTT jarang disentuh PSSI karena minim melahirkan pesepak bola nasional.

Penulis: Gonang Susatyo

Padahal, NTT sebelumnya pernah melahirkan salah satu legenda sepak bola Tanah Air. Dialah Sinyo Aliandoe, mantan pemain dan pelatih nasional sepak bola Indonesia.

Almarhum yang pernah nyaris membawa Indonesia ke Piala Dunia 1986 bila tidak disingkirkan Korea Selatan (0-2, 1-4) di babak play-off ini merupakan putra asli Larantuka, Flores Timur, NTT.

Untuk mengenang almarhum, Larantuka pernah menggelar Sinyo Aliandoe Memorial Cup (SAMC) pada Juli 2016.

“NTT sesungguhnya memiliki potensi besar di sepak bola. Banyak mutiara terpendam di daerah-daerah,” ungkap Sekretaris Umum (Sekum) Asprov PSSI NTT, Lambertus Ara Tukan.

"Banyak anak yang selalu bermain bola di lapangan-lapangan. Antusiasme masyarakat untuk menonton pertandingan sepak bola juga sangat tinggi," ujarnya.

NTT punya potensi yang luar biasa. Daerah tersebut sesungguhnya bisa menjadi gudang pemain sepak bola bertalenta seperti Papua atau Maluku.

Yabes Roni, yang membela Bali United pada TSC 2016, adalah contoh bakat alam tersebut. Hanya, Lambertus mengakui bahwa bakat semata tentunya tidak cukup.

Baca Juga:

Pelatih Bali United, Indra Sjafri, sendiri pernah menyebut Yabes masih harus belajar banyak soal bermain sepak bola yang benar demi melengkapi bakat alam tersebut.

"Harus ada kerelaan dan kesadaran dari pelatih, klub, asosiasi kota maupun kabupaten untuk menemukan bibit-bibit bertalenta yang akan dikirim saat ada turnamen," tutur Lambertus.

"Tentunya kami berharap pemain itu terus dibina setelah turnamen selesai. Jangan sampai begitu turnamen berakhir, pemain tidak lagi dalam pemantauan dan akhirnya kembali ke nol," ucapnya.

Lisensi

Persoalannya, sepak bola di NTT menghadapi problem yang tidak kalah besar. Hambatan utama tak lain soal dana dan infrastruktur, seperti lapangan yang memenuhi syarat sampai sumber daya manusia (SDM).

Rata-rata pelatih sepak bola di NTT hanya mengantungi lisensi C Nasional. Begitu pula dengan wasit yang hanya sedikit berlisensi C1 dan kebanyakan memiliki sertifikat C2.

“Jadi jangan bicara kualitas pelatih karena lisensi mereka masih C Nasional. Untuk meningkatkan kualitas pelatih, jelas dibutuhkan dana yang tidak sedikit,” ujar Lambertus lagi.

"Pelatih harus mengeluarkan dana sendiri bila ingin mengikuti kursus kepelatihan. Mereka terbentur finansial untuk mengikutinya. Padahal, banyak pelatih yang ingin mengambil lisensi lebih tinggi," katanya.

Problem dana juga menyulitkan Asprov, Askab maupun Askot dalam menyelenggarakan kompetisi internal. Pilihannya asosiasi lebih banyak menggelar turnamen tahunan. Hanya tidak semua klub atau asosiasi bisa rutin mengikuti turnamen tingkat provinsi.

[video]https://video.kompas.com/e/5277752468001_v1_pjuara[/video]

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P