Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Membela panji tim nasional merupakan wujud pengabdian serta kebanggaan bagi pesepak bola mana pun. Akan tetapi, manifestasi nyata dari patriotisme itu kerap bikin gusar klub-klub Eropa.
Penulis: Sem Bagaskara
Dalam sebuah sesi wawancara dengan media Prancis, Onze Mondial, penyerang andalan Leicester City, Riyad Mahrez, berujar mantap.
"Ini tanah air saya. Saya bangga menjadi pemain Aljazair," ujar Mahrez.
Mahrez lahir di Sarcelles, kota kecil di sebelah utara Paris. Dia lahir, tumbuh besar, dan mengawali karier sepak bola di teritori Prancis.
Pemain yang kini berusia 25 tahun itu punya kesempatan untuk memperkuat Prancis, tapi pilihan jatuh pada negara orang tuanya, Aljazair.
Keputusan yang melegakan Mahrez, tapi lumayan bikin waswas klub yang sekarang dibelanya. Penyebabnya tentu pergelaran Piala Afrika, ajang dwitahunan yang biasanya dimulai pada Januari.
Piala Afrika bergulir saat liga-liga di Eropa masih berjalan. Berbeda halnya dengan turnamen konfederasi lain semodel Piala Eropa, Piala Amerika, atau Piala Emas yang baru diputar ketika liga-liga di Benua Biru sudah paripurna.
Itulah kenapa hajatan Piala Afrika sering memicu rasa frustrasi pelatih klub Eropa.
"Senang saat memiliki Eric Bailly di lapangan sebab dia salah satu yang tercepat. Dalam situasi satu lawan satu, Eric yang terbaik sebab dia gesit," kata Manajer Manchester United, Jose Mourinho, di Mirror.
Baca Juga:
Mourinho dipastikan kehilangan Bailly dalam empat laga kontra Reading (Piala FA), Hull (Piala Liga), Liverpool (EPL), dan Stoke (EPL) seiring partisipasi sang bek bersama Pantai Gading di Piala Afrika 2017.
Kondisi serupa dirasakan Arsenal yang mesti melepas Mohamed Elneny (Mesir) dan Liverpool yang kehilangan Sadio Mane (Senegal).
Bailly, Elneny, dan Mane berstatus pemain inti di klub masing-masing. Secara total klub Premier League menyumbang 23 pemain di Piala Afrika 2017.
[video]https://video.kompas.com/e/5272442211001[/video]