Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Premier League 2015-2016 memunculkan dongeng. Klub-klub mapan mendapatkan kejutan dari klub semenjana yang pada musim sebelumnya nyaris terdegradasi.
Penulis: Christian Gunawan
Leicester City mengakhiri 2014-2015 di peringkat ke- 14. Perolehan poin mereka hanya enam lebih banyak daripada peringkat ke-18.
Pada prosesnya, The Foxes sempat terancam turun divisi. Sampai pekan ke-31, tim yang kala itu ditangani Nigel Pearson tersebut masih berada di dasar klasemen!
Namun, dalam waktu setahun saja, Si Rubah meroket. Kedatangan Claudio Ranieri menggantikan Pearson menjadi awal kejutan besar itu.
Pembelian pemain tanpa transfer selangit seperti N’Golo Kante dari Caen dengan 5,6 juta pound, Christian Fuchs dari Schalke tanpa biaya transfer, dan Robert Huth dari Stoke (3 juta pound) menjadi resep berikutnya.
Baca juga:
Lesatan Leicester memang tak lepas dari kelesuan tim-tim yang lebih mapan. Juara bertahan Chelsea limbung, bahkan tercecer ke papan tengah hingga Jose Mourinho didepak.
Arsenal unggul sampai setengah musim, tetapi seperti sebelum-sebelumnya, anjlok pada paruh kedua musim.
Manchester City juga angin-anginan dan mungkin tepengaruh kabar sebelum musim berakhir bahwa Pep Guardiola akan datang untuk kompetisi 2016-2017.
Manchester United tak juga menguat di bawah arahan Louis van Gaal. Liverpool FC beradaptasi bersama Juergen Klopp. Tottenham cukup stabil, tetapi kerap kehilangan poin di laga penting.
Akan tetapi, kemampuan pasukan Ranieri sama sekali tidak sepele. Kolektivitas menjadi senjata utama klub juara Piala Liga tiga kali ini.
Kasper Schmeichel di bawah mistar; duet Huth dan Wes Morgan di jantung pertahanan; serta gelandang pekerja keras seperti Kante, Marc Albrighton, dan Danny Drinkwater membentuk tim yang sukar dikalahkan. Riyad Mahrez dan Jamie Vardy menghasilkan serangan yang sulit ditahan lawan.
Enam pekan pertama, Foxes melaju tanpa terkalahkan. Namun, kekalahan 2-5 dari tamunya, Arsenal, menurunkan kefavoritan Leicester.
Si Rubah kembali diperhitungkan usai melejit lagi, tak terkalahkan di sembilan laga berikut sebelum ditaklukkan Liverpool saat boxing day.
Kestabilan itu terjaga sampai akhir musim. Si Rubah hanya tiga kali kalah.
Arsenal bisa dua kali menang atas Foxes, tetapi pada akhir musim terpaut 10 poin dari sang juara penuh kejutan.
Kiprah gagah Si Rubah berlanjut di fase grup Liga Champions musim ini, walau tertatih-tatih di liga.
Ya, entah kapan Leicester, atau tim semenjana lain, bisa menjuarai Premier League lagi, namun Leicester pantas menjadi kampiun 2015-2016.
Pemain Terbaik
Jamie Vardy diboyong Leicester pada 2012 dari klub yang saat itu baru menjadi juara Conference National (divisi kelima di Inggris dan kerap disebut non-liga), Fleetwood Town. Ia pasti takkan menyangka kiprah luar biasa dirinya pada 2015-2016.
Semusim sebelumnya, koleksi gol Vardy hanya lima biji.
Musim silam, pria asal Sheffield ini melejit. Torehan golnya mencapai 24 buah, hanya selisih satu dari top scorer Harry Kane.
Gol-gol itu krusial dalam raihan gelar The Foxes. Buahnya adalah kesempatan memperkuat timnas Inggris. Penyerang berusia 29 tahun itu pun tampil di Euro 2016.
“Ia memiliki konsentrasi yang mengesankan. Mentalitasnya kuat. Ia tak pernah menyerah. Keteguhannya menginspirasi sebab ikut meyakinkan pemain lain,” begitu puji bos Foxes, Claudio Ranieri, untuk Vardy, yang terpilih sebagai Premier League Player of the Season.
Transfer Terbaik
Cukup sulit menentukan transfer terbaik Premier League 2015-2016. Sejumlah nama menyeruak di klub anyarnya.
Perekrutan Petr Cech membuat posisi kiper Arsenal menguat, terbukti dengan 16 kali clean sheet yang ditorehkan eks kiper Chelsea itu, terbanyak musim lalu.
Dimitri Payet, yang dibeli West Ham dari Marseille, pun tampil bagus di musim debutnya di EPL.
Roberto Firmino, digaet Liverpool dari Hoffenheim, juga segera nyetel dengan Liga Inggris.
Hanya, jika ukurannya pengaruh besar sampai memungkinkan klub baru meraih prestasi setinggi gelar liga, N’Golo Kante adalah transfer terbaik di Inggris tahun lalu. Kerja keras gelandang angkut air asal Paris ini terasa sangat penting di lini tengah Leicester.
Kekukuhan lini tengah memudahkan The Foxes menguasai sekian banyak permainan.
Aksi defensif pemain berusia 25 tahun ini tak hanya membantu lini pertahanan, juga membuat duet Riyad Mahrez dan Jamie Vardy leluasa menyerang.
Wajarlah bila jumlah penampilannya di liga mencapai 37 kali, 33 di antaranya sebagai starter. Karena perannya yang penting, Kante pun masuk tim terbaik Premier League musim lalu.
Transfer ke Chelsea pada Juli menegaskan kemampuannya yang apik.
Pelatih Terbaik
Premier League bukan pengalaman baru buat Claudio Ranieri. Pelatih asal Italia ini pernah meracik Chelsea pada 2000-2004, saat peralihan kepemilikan dari Ken Bates ke Roman Abramovich.
Hanya, runner-up dan peningkatan poin dari tahun ke tahun, tak cukup bagi Ranieri untuk mempertahankan posisinya di Chelsea.
Selepas Chelsea, Ranieri melatih klub di Spanyol, Italia, dan Prancis, sampai akhirnya menerima tawaran timnas Yunani selepas Euro 2014.
Penanganannya hanya beberapa bulan hingga November 2014. Ia dipecat karena Yunani kalah dari negara kecil Kepulauan Faroe di kualifikasi Euro 2016.
Noda itu terbawa ke pihak yang selanjutnya menawarkan kontrak pada musim panas 2015, Leicester City. Keraguan merebak di Leicester.
Namun, sosok asal Roma ini menjadi otak di balik kejutan besar Leicester musim lalu.
Segi nonteknis menjadi hal yang ia benahi lebih dulu. Sir Alex Ferguson memuji keberhasilan The Tinkerman memberikan ketenangan ke dalam timnya.
Kebebasan membuat pasukannya tampil habis-habisan tanpa rasa takut. Pujian layak diberikan kepada Ranieri untuk gelar liga pertama miliknya.