Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Terdapat siklus unik di Piala AFF, terutama menjelang final. Fakta sejarah menyebutkan bahwa tim yang paling rajin menjebol gawang lawan hampir selalu menemui kegagalan dalam upaya merengkuh trofi juara.
Penulis: Indra Citra Sena
Indonesia (1998, 2000, 2002, 2004, 2010), Thailand (2008, 2012), Malaysia (1996), dan Vietnam (2014) pernah terkena kutukan ini. Pengecualian buat Singapura, yang berhasil menjuarai Piala AFF dengan predikat tim tertajam.
Khusus Indonesia, empat edisi yang disebut terakhir menghasilkan prestasi runner-up. Dengan kata lain, Laskar Merah-Putih memiliki kecenderungan produktif setiap kali berkesempatan menjejak final pada masa lalu.
Anomali terjadi pada Piala AFF 2016, di mana Indonesia menembus final Piala AFF tanpa embel-embel tertajam. Boaz Solossa cs "hanya" mengemas 10 gol (rata-rata dua gol per laga) dan kalah banyak dari Thailand (12 gol).
Baca Juga:
Rasio gol Indonesia bahkan termasuk paling rendah dibandingkan empat partisipasi terdahulu saat mencapai final Piala AFF, yakni 2000 (tiga gol per laga), 2002 (empat gol per laga), 2004 (3,5 gol per laga), dan 2010 (tiga gol per laga).
Di lain kubu, kecenderungan Thailand rupanya berbanding terbalik dari Indonesia. Inilah kali ketiga Tim Gajah Perang melangkah ke final Piala AFF bermodalkan ketajaman yang melebihi pesaing-pesaing menjelang klimaks turnamen.
Menariknya, Thailand selalu gigit jari akibat keok dari finalis lain setiap kali menemui situasi semacam ini (2008 dan 2012). Empat titel juara Piala AFF diraih ketika tabungan gol mereka kurang dari atau setara dengan rival di final (1996, 2000, 2002, 2014).
Apakah kontradiksi Indonesia dan Thailand bakal menentukan hasil akhir final Piala AFF? Bila benar, maka Laskar Merah-Putih berpeluang mengukir tinta emas sekaligus membawa pulang trofi perdana sepanjang sejarah. Semoga saja.