Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pesan khusus terlontar dari mulut Gerard Pique setelah hasil 1-1 yang diperoleh Barcelona di Anoeta, akhir pekan kemarin. “Jika bermain seperti ini, akan sangat sulit bagi kami untuk menjuarai La Liga,” begitu ungkap sang bek tengah Blaugrana, seperti dikutip Marca.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Apa yang dikatakan Pique juga diamini Luis Enrique, pelatih Barca. Menurutnya, permainan di rumah Real Sociedad itu merupakan permainan terburuk dalam masa kepemimpinannya di Camp Nou yang telah menginjak musim ketiga.
Dari aspek hasil akhir, sebetulnya skor imbang menjadi outcome terbaik Enrique, yang mengalami dua kekalahan dalam dua lawatan sebelum ini.
Ditambah Pep Guardiola, Tito Vilanova, dan Tata Martino yang juga gagal meraup tripoin di San Sebastian, mungkin Enrique tak perlu merasa sebegitu bersalahnya.
Akan tetapi, dari perspektif permainan, eks pelatih Barcelona B, AS Roma, dan Celta Vigo itu memang layak merasa terpojok. Maklum, untuk pertama kalinya sejak 2008, ada klub yang bisa mengungguli Barca dalam ball possession dan mengambil poin pada saat yang bersamaan.
Ketika tiga musim lalu, di masa kepemimpinan Tata, Barca juga sempat kalah dari sisi penguasaan bola (50,5% berbanding 49,5%) saat bertamu ke Rayo Vallecano.
Namun, Barca tetap bisa menang, bahkan dengan skor mencolok 4-0, melalui hattrick Pedro Rodriguez dan gol Cesc Fabregas.
Sementara itu, statistik di Anoeta, Ahad (27/11), menunjukkan keunggulan ball possession tuan rumah mencapai 52%.
Situasi ini masih diperparah dengan inferioritas Barca di berbagai sektor lain, semisal total tembakan (17 berbanding 10), tembakan akurat (6-2), total operan (457-426) dan operan kunci (12-4), hingga cegatan (11-6).
Jadi, memang tak berlebihan apabila Enrique merujuk hasil di ibu kota Wilayah Otonomi Basque itu sebagai laga terburuk timnya.
Terlalu naif menjadikan absennya Andres Iniesta sebagai pokok permasalahan, sehingga jarak enam poin terbentang antara mereka dengan Real Madrid di puncak klasemen La Liga.
Iniesta memang sosok integral dalam kesuksesan Barca meraih puluhan trofi dan Spanyol merengkuh tiga mahkota elite di pentas sepak bola.
Namun, apakah hanya ini permasalahan Barca? Jika betul, tentu akan dengan mudah publik memprediksi bahwa comeback Iniesta di el clasico, Sabtu (2/12), otomatis akan menghadirkan tiga angka penuh.
Meski memiliki kualitas eksepsional, Iniesta tetap hanya satu dari 11 personel yang merumput atas nama Barca. Hanya satu baut dari sebuah roda penggerak. Tanpanya, roda akan berputar kurang sempurna. Dengannya pun, roda masih bisa tak berjalan mulus apabila elemen lain tak ikut mendukung.
Well, inilah yang mungkin menjadi salah satu problema, jika bukan yang utama, Barca di musim ini. Bahkan juga di dua musim awal Enrique.
Walaupun sukses menjuarai tujuh trofi, roda Azulgrana tak pernah berjalan semulus sebelumnya. Gaya direct yang diterapkan El Lucho telah mengeksploitasi kelemahan Sergio Busquets.
Dengan kalimat yang lebih santun, perubahan gaya guna mengoptimalkan peran trio MSN justru memakan Busquets sebagai korban.
Kontribusi Busi, julukan sang gelandang timnas La Furia Roja ini, menjadi kurang optimal karena para bek dan dua rekannya di tengah mulai melepas umpanumpan jauh langsung ke arah MSN.
Padahal, layaknya Iniesta, kisah sukses Barca dan Spanyol juga sarat sumbangsih Busquets. Baik dalam membangun serangan maupun di saat muncul transisi dari menyerang ke bertahan.
Busquets adalah sosok yang biasa memulai segalanya dari bawah, dan menjadi penyaring utama ketika datang gelombang serangan lawan.
Mari kita lihat statistik operan Busquets di laga kontra Sociedad. Alih-alih menjadi pemimpin di wilayah spesialisasinya tersebut, Busquets hanya melepas 51 operan.
Ia terpaut hampir setengahnya dari total 100 operan yang dikirim Esteban Granero, gelandang tuan rumah.
Angka ini terlihat miris karena jomplang dengan rataan operan per partai yang biasa diukirnya selama ini.
Ketika menutup musim 2011/12, musim terakhir Pep, Busquets mencetak rataan 83,3 operan per 90 menit di La Liga. Rataannya terus menurun menjadi 80,1 operan di 2014/15, lalu 75 operan di 2015/16, dan cuma 73,3 operan di musim ini.
Kendati demikian, Busquets masih termasuk tiga besar dalam ketegori persentase operan sukses (91%).
Di posisi ketiga, ia hanya kalah dari Toni Kroos (Real Madrid, 92,7%), dan Roque Mesa (Las Palmas, 92,1%). Artinya, Busquets tetap tampil akurat, tapi hanya kurang sering melepas operan.
Selain karena gaya baru yang diterapkan Enrique, menurunnya jumlah operan Busquets juga diakibatkan level permainan rekanrekannya yang belum senada.
Kunci irama sukses Barca terbentuk dari operan-operan pendek di antara trio tengah, yang bersinergi apik dengan lini belakang dan depan.
Ivan Rakitic terlalu sering naik membantu serangan, sedangkan kecepatan Iniesta tak lagi seoke dulu.
Celakanya, para pemain yang bertugas melapis dua koleganya itu, baik Rafinha, Denis Suarez, maupun Andre Gomes, tak memiliki bentuk irama seperti di era Xaviesta.
Kunci irama sukses Barca terbentuk dari operan-operan pendek di antara trio tengah, yang bersinergi apik dengan lini belakang dan depan.
Tanpa irama yang sama, bahkan dengan perbedaan sepersekian detik pun, irama operan akan terganggu.
Dengan jarak antarpemain yang terlalu jauh, Busquets butuh energi ekstra untuk sekadar menerima dan mengirim kembali umpan. Selama jarak antarpemain masih sejauh ini, selama itu pula Busquets akan merana.
Selama itu pula Barca akan sulit menuai tripoin.