Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Setelah menganggur sejak medio Januari tahun lalu, Joaquin Caparros melakoni comeback ke level manajerial La Liga bersama Osasuna. Namun, laga debutnya terasa hambar lantaran Los Rojillos dibekuk Leganes dua gol tanpa balas saat berkunjung ke Butarque (21/11/2016).
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Manajemen Osasuna merasa perlu bantuan “pihak ketiga” saat tahu Miguel Flano dkk terjerembab di wilayah dasar klasemen Primera.
Mereka juga memutuskan mendepak Enrique Martin dan menunjuk Caparros guna memastikan Osasuna tak kembali terdegradasi.
Rekam jejak Caparros, yang menjadikan Osasuna klub ke-18 di daratan Spanyol yang dilatihnya, termasuk apik. Terutama saat dirinya membesut Sevilla dari 2000 sampai 2005, Deportivo La Coruna (2005-2007), Athletic Bilbao (2007-2011), Real Mallorca (2011-2013), hingga Levante (2013-2014).
Jika di tiga klub awal ia ditargetkan meraih posisi terhormat di klasemen, pekerjaan di Mallorca dan Levante adalah untuk memastikan keduanya mampu bertahan di Primera.
Caparros datang sewaktu Mallorca terkapar di papan bawah, tapi berhasil menghindarkan mereka dari relegasi ke Segunda A.
Dengan hanya meraih satu kemenangan dari 11 pekan awal La Liga 2016/17, Osasuna memang perlu perubahan drastis. Di laga debutnya, Caparros sebetulnya sudah mencoba mengutak-atik komposisi.
Salah satunya dengan menepikan Oriol Riera, Fran Merida, dan Javi Alamo, yang dianggapnya kurang optimal.
Akan tetapi, hasil negatif di rumah Leganes ternyata membuktikan bahwa Caparros butuh lebih dari sekadar merotasi skuat.
“Ternyata sangat banyak yang harus dibenahi. Tim ini jelas belum tampil baik, terutama pada saat berduel satu lawan satu, juga saat bertahan,” begitu kesan pertama Caparros, seperti dikutip Marca.
Hal yang coba ditekankan adalah upaya untuk tampil solid sebagai sebuah kesatuan utuh. Pada dasarnya Osasuna adalah tipe tim seperti ini.
Begitu pula deretan tim yang sebelumnya dilatih Caparros, juga punya tendensi untuk meminimalisasi ketangguhan individual dan lebih suka bermain secara kolektif.
Langsung Move On
Menurut Caparros lagi, dirinya melihat personel Osasuna punya kualitas individu yang bisa diandalkan. Namun, belum sepenuhnya bermain nyetel satu sama lain.
“Antusiasme pemain pada saat berlatih tampak begitu tinggi. Kini tinggal bagaimana mereka bisa mentransfer sikap tersebut pada saat bertanding,” imbuhnya.
Hanya sepekan waktu yang dimiliki Caparros untuk memastikan perubahan pada timnya. Tak boleh lebih. Maklum, rival yang datang untuk menguji sistem anyar Caparros ini adalah Atletico Madrid.
Meski sukses memenangi duel terakhir dengan skor 3-0 pada musim 2013/14, situasinya kali ini tak sama.
Lolo tak lagi memimpin lini tengah mereka. Armenteros tak bisa diandalkan untuk mengirim umpan-umpan ciamik.
Alvaro Cejudo pun sudah tidak bisa menyisir sisi kanan lapangan lewat kecepatan yang dimilikinya. Yang tersisa dari tim kala itu praktis tinggal Roberto Torres dan Riera.
Sebaliknya, Atletico justru semakin berwarna dengan kian dewasanya Saul Niguez, Yannik-Ferreira Carrasco, dan Antoine Griezmann. Lini depan Los Colchoneros juga lebih menajam dengan masuknya Kevin Gameiro, kolektor lima gol dan tiga assist di La Liga musim ini.
Walaupun tengah mengalami tren buruk menyusul tiga kekalahan dalam empat jornada terakhir (vs Sevilla 0-1, vs Sociedad 0-2, dan vs Madrid 0-3), Atleti terbukti sudah bisa langsung move on, ketika menang 2-0 atas PSV Eindhoven di matchday 5 Liga Champion, Rabu (22/11).
“Setelah menjalani laga-laga tanpa hasil bagus, hal yang paling kami butuhkan adalah penampilan apik yang berbuah kemenangan. Para pemain mampu menunjukkannya di laga ini (vs PSV). Kini tinggal begaimana kami bisa meneruskannya di laga berikut,” ungkap Griezmann.
[video]https://video.kompas.com/e/5220228208001[/video]