Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sembilan orang tengah meniti asa menjadi Ketua Umum PSSI periode 2016-2020. Siapa pun yang terpilih sebagai Ketua Umum PSSI pada 17 Oktober mendatang semestinya tak bakal punya banyak waktu istirahat.
Penulis: Andrew Sihombing/Gonang Susatyo
Dalam acara debat calon Ketua Umum PSSI pekan lalu, wartawan Kompas, Anton Sanjoyo, mengungkapkan apresiasi atas visi dan misi yang dimiliki para kandidat.
"Saya terkesan karena semuanya membicarakan hal-hal yang memang menjadi esensi dalam sepak bola, seperti football for all, pembinaan usia dini, dan lainnya," kata Anton.
Namun, tentu saja konsep semata tidak akan ada artinya. Bersama tim dan orang-orang kepercayaan, yang mungkin sudah disusun sejak sebelum terpilih, PSSI 1 dituntut segera membereskan seabrek tugas dan tantangan.
Bila berdiskusi dengan pihak yang terlibat dalam pengelolaan kompetisi level senior, kompetisi profesional pastilah disebut sebagai pilar utama menuju timnas yang tangguh.
Baca Juga:
Saat berhadapan dengan wakil pemain, kesejahteraan pelaku sepak bola tentu dianggap sebagai syarat utama. Begitu juga dengan mereka yang punya gawean terkait infrastruktur, pembangunan stadion, pendanaan klub, hingga pembinaan usia dini.
Orientasi pada Kompetensi
Pertanyaannya, apa yang mesti dijadikan prioritas? Sekretaris Umum Asprov PSSI Maluku, Supyan Lestaluhu, menyebut kuncinya ada di penataan pembinaan usia dini.
"Saat ini, PSSI hanya punya Piala Suratin. Kejuaraan untuk pemain U-17. Padahal, pembinaan harus dilakukan dengan menggelar kompetisi U-10, U-12, U-14, dan seterusnya. Pembinaan itu seharusnya tidak diserahkan pada pihak lain," tutur Supyan.
Rasanya sulit membantah pernyataan, atau mungkin harapan, di atas. Toh, sudah banyak bukti yang tersaji untuk hal tersebut.
Pembinaan usia dini adalah kunci Spanyol menjadi salah satu raja sepak bola dunia sedekade terakhir, demikian juga sukses Jerman memenangi Piala Dunia 2014.
Masalahnya, pembinaan usia dini seperti apa yang harusnya dilakukan? Banyak kalangan yang "tersesat" dalam hal ini.
Salah satu faktor yang kerap dilupakan dalam pembinaan usia dini adalah pelatih berkualitas di level akar rumput. Keberhasilan Islandia melaju ke perempat final Euro 2016 bisa menjadi contoh yang mesti dicermati oleh PSSI 1.
Sukses Islandia itu akan menampar siapa pun yang menyebut timnas tangguh hanya berasal dari kompetisi profesional nan gemerlap.
Kompetisi sepak bola kasta tertinggi di Islandia, yakni Urvalsdeild, statusnya hanya semiprofesional.
Banyak pesepak bola di level tersebut yang juga melakoni profesi lain.
Perbaikan sepak bola Islandia sudah dimulai 14 tahun sebelumnya. Selain membangun banyak lapangan indoor, sehingga sepak bola bisa dimainkan sepanjang tahun dan tak lagi terganggu oleh musim dingin nan ekstrem, federasi sangat fokus pada kualitas pelatih.
Populasi Islandia hanya sekitar 300-an ribu penduduk.
Tapi, berdasarkan data hingga Euro 2016 lalu, negeri ini memiliki 539 pelatih berlisensi UEFA B, 139 pelatih berlisensi UEFA A, dan 13 pelatih berlisensi UEFA Pro.
Banyak pelatih tersebut yang terjun ke akademi junior. Pemilik otoritas sepak bola Islandia percaya bahwa pemain berkualitas hanya akan lahir bila ditangani pelatih berkualitas sejak dini.
Jika melacak sukses Jerman dan Spanyol, ketersediaan pelatih berkualitas di usia dini ini juga menjadi pilar terpenting kebangkitannya.
Tantangan tentu tidak berhenti pada menciptakan sebanyak mungkin pelatih berkualitas.
PSSI harus segera menemukan formula terbaik agar para pelatih berkualitas itu mau terjun ke usia dini, yang tentunya tidak mendatangkan uang sebanyak di level profesional.
Caranya? Orientasi kursus kepelatihan harus digeser dari yang selama ini mengejar sertifikasi menjadi berbasis kompetensi.
Di setiap kompetisi antar-SSB yang begitu banyak digelar di negeri ini, para pelatihnya harus diwajibkan mengikuti kursus kepelatihan dengan materi sesuai arahan direktur teknik sebagai penyusun filosofi dan cetak biru pembinaan sepak bola Indonesia.
Selain itu, terkait usia dini, ada satu tantangan lain yang tak boleh dilupakan.
"Survei KPI menyebut bahwa anak-anak menghabiskan 1.700 jam di depan televisi dalam setahun dan 740 jam di sekolah," kata pengamat sepak bola Fritz Simanjuntak.
"Ketua Umum PSSI harus merancang cara agar sepak bola bisa menarik 1.700 jam tersebut dan membuat anak-anak mau bermain bola," ucapnya.
[video]https://video.kompas.com/e/5165085032001_v1_pjuara[/video]