Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Sentuhan Magis Sang Penjinak Balotelli

By Sabtu, 8 Oktober 2016 | 15:32 WIB
Penyerang Nice, Mario Balotelli, melakukan pemanasan sebelum melakoni laga Ligue 1 melawan Lorient di Stadion Allianz Riviera, 2 Oktober 2016. (VALERY HACHE/AFP)

Sebelum kompetisi 2016/17 bergulir, mungkin tidak ada yang menduga Nice dapat berada di puncak klasemen Ligue 1 sejak pekan keenam (21/9/2016). Paris Saint-Germain sangat dijagokan untuk kembali merajai liga setelah mendominasi gelar empat musim beruntun. 

Penulis: Theresia Simanjuntak

Tim yang dikira akan menyaingi PSG ialah AS Monaco. Prediksi tersebut wajar mengingat skuat PSG dan Monaco jauh lebih mahal dari Nice.

Menurut analisis CIES Football Observatory, harga skuat PSG dan Monaco musim ini bila digabungkan menjadi sebesar 600 hingga 700 juta euro.

Skuat Nice total cuma 40 juta euro. Tak cuma soal nilai, kualitas pemain Nice juga dinilai kalah ketimbang dua tim tersebut. Perekrutan Dante dan Mario Balotelli sempat bikin skeptis.

Berusia 32 tahun, kemampuan Dante diyakini nyaris habis.

Sementara itu, perangai kontroversial Balotelli berpotensi mengusik ruang ganti Nice.

Semua dugaan tersebut segera menghilang. Pengalaman Dante berperan penting di pertahanan Nice, yang baru menderita lima gol di liga musim ini.

Balotelli, yang sejak datang selalu mendapat dukungan penuh di muka publik dari pelatih Lucien Favre, menjelma sebagai pencetak gol terbanyak Nice di Ligue 1 2016/17. Dia mencetak lima gol dari tiga laga.

Kredit pantas diberikan kepada Favre, pelatih baru Nice yang dalam waktu singkat bisa menemukan formula kemenangan. Menilik sejarah kepelatihan, apa yang Favre nikmati saat ini hal biasa baginya.

Dia memang terlalu sering memberi sentuhan magis bagi klub-klub yang pernah dilatih.

Favre mengawali karier melatih tim utama pada 1993 di klub negeri asalnya, Echallens.

Pada 1994, ia membawa klub itu untuk pertama kalinya promosi ke Divisi II Liga Swiss, pencapaian terbaik dalam sejarah Echallens hingga saat ini.

Magis Favre berlanjut ke tim Divisi II Liga Swiss lainnya, Yverdon-Sport. Ditunjuk melatih pada Januari 1997, Favre memimpin tim itu promosi ke liga utama pada 1999.

Musim berikutnya, Yverdon-Sport sampai ke peringkat lima klasemen akhir.

Tangan dingin Favre terus bekerja. Dia membawa FC Zurich menjuarai liga utama Swiss pada 2006 dan 2007 guna mengakhiri puasa gelar liga tim itu yang sempat berjalan selama 25 tahun.

Dua klub Jerman, Hertha Berlin dan Borussia Moenchengladbach, pernah mengakhiri Bundesliga di empat besar klasemen akhir di era Favre. Bila tren tersebut berlanjut, Favre seharusnya bisa kembali menikmati kesuksesan musim ini bareng Nice.


Pelatih Nice, Lucien Favre, berbincang dengan striker Mario Balotelli pada laga Nice vs Lorient pada laga Ligue 1 di Stadion Allianz Riviera, Nice, Prancis, 2 Oktober 2016.(VALERY HACHE/AFP)

Belakangan, sejumlah pelatih top punya formasi favorit yang selalu mereka gunakan kendati berganti tim. Sebut saja Jose Mourinho dengan pola 4-2-3-1.

Namun, hal itu tidak berlaku bagi Favre. Pelatih berusia 58 tahun ini menentukan formasi berdasarkan kualitas anak asuh yang dia miliki.

Ketika di Gladbach, Favre menggunakan modul 4-4-2. Gladbach asuhannya dikenal bermain defensif dan mengandalkan serangan balik. Formula sukses tersebut tidak Favre terapkan di Nice.

Sempat mencoba 4-3-3, yang dipakai pelatih Nice sebelumnya, Claude Puel, Favre sekarang memakai 3-5-2.

Pergantian formasi ini memperlihatkan Favre sadar dirinya tidak punya sayap kuat dalam serangan macam Patrick Herrmann di Gladbach, tapi dia kaya bek berkualitas.

Melihat pencapaian Nice belakangan, taktik fleksibel Favre tampaknya membuahkan hasil positif.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P